Minggu, 05 Mei 2013

KESATUAN TRANSENDENTAL DALAM TEOLOGIS


Oleh: Abby Fadhillah Yahya, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Program Studi Perbandingan Agama 4.
A. pendahuluan
Pada dasarnya, manusia sengaja  diturunkan oleh Allah SWT  ke bumi ini untuk menjadi khalifah. Dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah  ayat 30 Allah SWT berfirman:
و إذ قال ربّك للملائكة إنّى جاعل فى الأرض خليفة*قالو أتجعل فيها من يفسد فيها و يسفك الدّماء*و نحن نسبّح بحمدك و نقدّس لك*قال إنّى أعلم ما لا تعلمون
Yang artinya: dan tuhanmu telah mengatakan kepada malaikat sesungguhnya aku hendak menjadikan(adam) sebagai khalifah. Mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan khalifah orang yang berbuat kerusakan padanya dan pertumpahan darah padahal kami senantiasa bertasbih memuji engkau dan mensucikan engkau? Allah berfirman: “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

 Tugas dari seorang khalifah adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Maka, selama manusia berada di bumi, Allah telah memberikan 5 petunjuk untuk manusia yang bisa mengarahkan manusia untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Salah satu daripada petunjuk tersebut adalah petunjuk/hidayah tentang agama. Karena, dalam agama terdapat norma-norma dan ajaran yang bisa menuntun manusia ke dalam budi pekerti dan perilaku yang baik. Akan tetapi, pada hari ini kita sering menyaksikan konflik yang mengatasnamakan agama dan seringkali agama dianggap sebagai “biang kerok” pertikaian seperti yang baru-baru ini adalah kasus syiah di Sampang dan kasus ahmadiyah di Banten.
Menurut orang yang anti agama,kehadiran agama hanya akan mempersukar dan menghitamkan lembaran-lembaran kehidupan, yang selanjutnya bermuara pada keporakporandaan dan kerusakan.[1]Terlebih lagi masalah kafir-pengkafiran antar pemeluk agama. Dalam Islam sendiri, muncul juga istilah kafir pengkafiran setelah terjadi tiga peristiwa besar, yang pertama adalah pembunuhan Usman, yang kedua adalah peperangan Ali dengan Muawiyah dan Ali dengan Aisyah,dan pengejaran keturunan umawiyah oleh keturunan Abbasiyah.[2]Sedangkan menurut prof. DR. Zainun Kamal, dekan fakultas ushuluddin UIN Jakarta,  berbagai konflik muncul terutama setelah persinggungan agama dengan politik.[3]
Diantara solusi yang ditawarkan oleh para cendekiawan pemeluk agama terhadap permasalahan di atas adalah paham pluralisme, terutama sekali bagi cendekiawan dan agamawan di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya majemuk.Berbagai macam lembaga didirikan guna mendukung paham ini. Sebutlah the wahid institute, ICRP[4], ICIP.[5] Bahkan sampai masuk ke ranah pusat studi di perguruan tinggi seperti PUSHAM di UII dan UNMUH Malang, CSRC[6] di UIN Jakarta, CRCS dan ICRS di UGM Yogyakarta dan lain-lain. Para cendekiawan itu tidak menyadari dampak yang diakibatkan oleh pemahaman seperti ini. Karena dinilai berbahaya oleh sejumlah ulama dan umat Islam, maka pada tahun 2005, MUI mengharamkan paham ini.
Para cendekiawan muslim umumnya sering menjustifikasi ayat ada Al-Qur’an surat Ali imran ayat 64 yang berbunyi:
قل يآ أهل الكتاب تعالو إلى كلمة سواء بيننا و بينكم  ألاّ نعبد إلاّ الله و لا تشرك به شيئا ولا يتّخذ بعضنا بعضا أربابامندونالله* فإنتولّوفقولواشهدوبأنّمسلمون
Yang artinya:katakanlah hai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatu pun dan tidak sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah, jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri(kepada Allah).
Menarik untuk dicermati bahwa terdapat kalimat yang “simpang siur”. Kata “kalimatun sawa” sering disalah pahami oleh para cendekiawan Muslim, dalam artian mereka yang berpaham pluralis. Menarik juga untuk dicermati, bahwa selain daripada kata “kalimatun sawa” disana juga terdapat kata “ahlul kitab”. Karena itulah ayat ini sering menjadi justifikasi sekaligus perdebatan diantara para cendekiawan. Pertanyaannya adalah:
1.      Apakah maksud daripada kata “kalimatun sawa” pada ayat diatas? Dan apakah kaitannya dengan pluralisme agama?
2.       Bagaimana pendapat para cendekiawan mengenai ayat tersebut diatas, baik yang pluralis maupun yang tidak?
3.      Siapakah “ahlul kitab” yang dimaksud pada ayat diatas?
B. siapakah ahli kitab itu?
 Saya akan membahas terlebih dulu mengenai “ahlul kitab”. Karena pada ayat pertama surat ini (Ali Imran ayat 64) kata yang pertama kali disebut adalah ahli kitab. Para cendikiawan sering memperdebatkan tentang hal ini tentang bagaimana hukumnya menikahi mereka? Dan tentang bagian warisan untuk mereka? Karena, pada zaman nabi pun orang kafir dari yahudi dan nasrani disebut dengan nama ahli kitab karena agama inilah yang lahir terlebih dahulu sebelum agama Islam.
 Kaum Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Abraham(Ibrahim) dari garis Abraham-Isaaq-Jacob. Istilah yahudi sendiri sebenarnya melekat pada bangsa sekaligus pada agama.[7] Menurut kaum yahudi, nama hebrew(ibrani) melekat pada Abraham, yang mulanya bernama Abram. Yahudi mengklaim Abraham sebagai putra dari terah yang merupakan generasi ke 10 dari Noah putra Sem.[8]
Sedangkan agama nasrani terjadi akibat penyimpangan sekitar kurang lebih 60 tahun setelah “kegaiban” nabi Isa. Aktor yang paling bertanggung jawab atas penyimpangan agama nasrani adalah paulus. Diantara ajaran baru paulus yang bertentangan adalah ketuhanan yesus, tuhan mempunyai anak, menghalalkan minuman keras, menghalalkan babi, dosa warisan dan sebagainya.[9]Sehingga Huston Smith menyimpulkan bahwa agama kristen adalah agama sejarah. Karena tidak dilandasi lagi oleh wahyu samawi dan selalu berubah.[10] Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa kedua agama yahudi dan nasrani adalah agama budaya dan tidak dikenal pada zaman nabi.[11]
 Rasyid Ridha memasukkan “ahlul kitab”menggunakan kriteria memiliki kitab suci atau mengikuti nabi yang dikenal baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun yang bukan. Karena itu, dia juga memasukkan kaum majusi, hindu, konghucu dan lain-lain ke dalam komunitas ahli kitab. Inilah yang sering dipakai oleh cendekiawan berpaham pluralis. Sedangkan Muhammad Abduh hanya memasukkan kategori “ahlul kitab”hanya ke dalam golongan yahudi, nasrani, dan shabi’in saja.[12]
            Akan tetapi, ada ayat Al-Qur’an yang menyanggah tentang pendapat Muhammad Abduh diatas  seperti surat Al-baqarah ayat 121 yang berbunyi:
الذين آتينا هم الكتاب يتلونه حقّ تلاوته أولئك يؤمنون به* ومن يكفر به فأولئك هم الخاسرون
Yang artinya: orang-orang yang telah kami berikan Al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya maka ia adalah orang yang merugi.
Maka jelaslah, dari konteks ayat diatas “ahlul kitab” adalah orang yang diturunkan kitab oleh nabi-nabi sebelum Muhammad dan tidak merubah isi daripada kitab suci tersebut lalu mengamalkannya. Tidak seperti “ahlul kitab” pada zaman sekarang yang sudah banyak berubah.
C. pluralisme agama
Pluralisme dalam bahasa Inggris berarti“used for referring to more than one”.[13] Dalam artian, sesuatu yang dipakai untuk mengacu pada jumlah yang banyak. Ada lagi istilah lain dalam menyebut/ mengartikan pluralisme yaitu pengakuan terhadap kualitas majemuk dan semua pendapat itu sama benarnya.[14]
Sebab dari pemahaman ini adalah dari faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan  kebenaran yang mutlak dari agama itu sendiri baik dalam masalah aqidah, sejarah, maupun keyakinan dan doktrin. Adapun faktor eksternal bisa timbul dari dua hal, yaitu sosial politis dan faktor ilmiah.  Faktor internal berkeyakinan bahwa apa yang diyakini dan diimaninya adalah paling benar dan paling superior. Karena ,Terdapat 2 bagian ideologi manusia, yang pertama adalah manusia yang beriman dan teguh terhadap wahyu samawi, mengimani hal-hal yang bersifat metafisik dan yang kedua adalah orang yang tidak beriman kecuali hanya kepada akal saja dan tidak mengimani hal-hal yang bersifat metafisik.[15]
Adapun dasar-dasar daripada pemahaman ini terbagi menjadi empat kategori: humanisme sekuler .Humanisme sekuler terjadi pada saat zaman Protagoras dimana doktrinnya yang sangat khas adalah “manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia menganggapnya demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka tak demikian pula” maksudnya adalah jika manusia berbeda pandangan, maka tidak ada kebenaran objektif sesuai dengan mana yang benar dan mana yang salah.[16]  Lalu dilanjutkan pula dengan Auguste Comte yang menawarkan gagasan filsafat positivisme yang menolak sesuatu yang bersifat metafisik.[17] Selain itu adapula teologi global, sinkretisme, dan perennial wisdom(hikmah abadi).[18] Selain itu, adapula istilah yang hampir mirip dan “ujung-ujungnya” pluralisme juga, yaitu “inklusif”.
Para cendekiawan Muslim khususnya, sering menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an yang mendukung gagasan-gagasan mereka di atas. Seperti contoh surat Al-baqarah ayat 62 yang berbunyi seperti ini:
إنّالذين آمنووالذّين هادواوالنّصارى والصّابئين من آمن بالله واليومالآخروعمل صالحافلهم أجرهم عندربّهم فلاخوف عليهم ولاهم يحزنون
Yang artinya: sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beragama yahudi, nasrani, dan shabiin yang beriman kepada Allah dan hari akhir mereka tidak akan takut di dalamnya dan mereka tidak pula bersedih hati.
Saya akan mengambil contoh justifikasi pernyataan yang mendukung paham pluralisme yang mengacu pada ayat tersebut diatas pada pernyataan seorang cendekiawan Muslim dibawah ini:
surat ini juga mengecam sikap ekslusif terhadap bani Israel, yakni sikap yang hanya mengakui dan membenarkan wahyu yang diperuntukkan bagi mereka dan menolak wahyu yang diberikan kepada umat lain. Sikap ekslusif ini digambarkan dengan sebagian orang yahudi dan nasrani yang mengatakan bahwa kelompok mereka saja yang akan menikmati kehidupan surgawi. Masing-masing pihak, baik kalangan yahudi maupun nasrani, menafikan kebaikan pihak lain seperti juga orang-orang lain yang tidak memiliki pengetahuan. Sikap ekslusif ini dikoreksi oleh tuhan dengan mengemukakan prinsip yang bersifat inklusif, dan menegaskan dengan ungkapan yang jelas bahwa orang-orang yang beriman, asalkan meyakini hari akhir dan berbuat baik kepada mereka, siapa pun mereka, akan beroleh ganjaran, mereka tidak akan ditimpa rasa takut dan tak akan bersedih hati”.
Lalu diakhir kalimat sang cendekiawan Muslim mengatakan: “penegasan ini menunjukkan bahwa sikap inklusif dan nonsektarian adalah sikap yang ditekankan oleh tuhan agar menjadi anutan bagi kaum muslimin”.[19]Disitu, dapat kita lihat bahwa si cendekiawan menggunakan istilah-istilah yang kelihatannya bagus. Si cendekiawan tersebut menggunakan istilah “inklusif” seperti yang telah saya katakan sebelumnya untuk disandarkan kepada Islam dan dicocok-cocokkan untuk Islam.
 Sebenarnya, istilah diatas hanya terdapat pada doktrin katolik saja. Sikap inklusif adalah pandangan penyelamatan yang dilakukan tuhan pada “semua tradisi agama” dan  wahyu tuhan yang sepenuhnya melekat pada yesus kristus.[20]Dimasa pemerintahan gereja Vatikan kedua, masalah ini menjadi problematika keagamaan katolik. Ada beberapa pendekatan dalam memandang keselamatan agama lain dalam agama katolik. Yang pertama adalah sikap ekslusif, yang mana memandang bahwa  hanya yang mematuhi dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran kristiani sajalah yang akan mendapat keselamatan. Yang kedua adalah inklusif, yang mana memandang bahwa keselamatan memungkinkan kepada pemeluk agama yang lain. Yang ketiga adalah pluralis. Dalam teologi pluralisme, tidak ada agama yang lebih baik daripada agama yang lain. Dan setiap agama menuju ke jalan kebenaran menuju tuhan.[21] Maka dari situlah muncul jargon khas gereja pada waktu itu “extra eccelsiam nulla sallus” yang berarti tidak ada keselamatan di luar gereja.[22] Charles Kimball mengatakan bahwa ketika pengikut yang taat dan bersemangat mengangkat klaim kebenaran agama mereka hingga ke tingkat klaim mutlak, maka sebenarnya mereka membuka pintu bagi  kemungkinan agama mereka itu menjadi agama jahat.[23]

D.  kesatuan agama-agama dalam pandangan cendekiawan
 Quraish Shihab dalam tafsir al-mishbah mengatakan bahwa “kalimatun sawa” , pada surat Ali Imran ayat 64 berarti “menuju ketinggian dan ketetapan yang lurus”. Dalam artian untuk menyembah Allah SWT.[24] Akan tetapi, kalimat ini lagi-lagi disalah artikan oleh cendekiawan kita.
Para cendekiawan Muslim yang berpaham pluralis umumnya menggunakan prinsip esoterisme untuk menjustifikasi paham pluralisme dan kesatuan agama-agama. Esoteris berasal dari kata “soteric” dalam bahasa Yunani yang berarti “within” atau dari dalam.  Selain esoteris sebenarnya ada juga eksoteris. Eksoteris yang berarti “common sense” bermakna yang bisa dirasakan dan dilihat. Tentang esoteris dan eksoteris ini Fritjof Schuonmengatakan seperti ini: “esoterism, by its interpretations, its revelations and its interiorizing and essentializing operations, tends to realize pure and direct objectivity, this is the reason for its existence”.[25](esoteris dengan segala penafsirannya, dan yang berada di bagian dalam dan segala hal-hal yang pokok cenderung untuk menyatakan kebenaran dan objek yang langsung.). Dari sini kita bisa melihat bahwasanya esoterisme memandang kebenaran dari inti.
Berikut ini, kita akan melihat pandangan-pandangan pluralisme dan kesatuan agama-agama di antara para cendekiawan.Yang pertama adalah Kautsar Azhari Noer, seorang guru besar perbandingan agama UIN Jakarta dan universitas Indonesia. Beliau mengutip pernyataan para sufi sebagai berikut: “tuduhan lain yang sering dilontarkan kepada sufisme adalah bahwa  beberapa sufi seperti Al-Hallaj dan Ibnu arabi mengajarkan doktrin kesatuan agama-agama, menurut tuduhan ini adalah bahwa semua agama pada hakikatnya adalah satu dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu tuhan yang maha esa. Perbedaan antara agama terletak hanya pada namanya, cara ibadahnya, bukan pada tujuannya. Perbedaan itu tidak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk sampai kepada tujuan yang sama. Agama para penyembah berhala dan agama para penyembah api sama dengan agama para penyembah tuhan”.[26] Di akhir tulisan ini beliau mengatakan: “seperti saya katakan pada awal pembicaraan ini, berdasar pada bukti-bukti historis, setiap peneliti yang jujur harus berkesimpulan bahwa kelompok Islam yang paling toleran, paling simpati, paling terbuka, dan ramah terhadap agama lain adalah agama para sufi. Beberapa contoh historis telah dipaparkan sekedarnya dalam tulisan ini. Sikap toleransi, simpati, keterbukaan, dan keramahan para sufi terhadap agama-agama lain didorong oleh keyakinan mereka bahwa agama (Islam) mereka pribadi cukup luas dan dalam. Sikap seperti ini tidak merusak iman mereka. Ia tidak dapat dilihat sebagai sebagai bukti dan ketidak konsistenan dan kegoyahan iman mereka. Justru sebaliknya, sikap ini menunjukkan kekukuhan sejati iman mereka. Kekukuhan sejati iman para sufi justru terbukti ketika mereka berani memasuki jantung agama-agama lain. Kekukuhan sejati iman seseorang tidak memerlukan benteng ketertutupan, benteng ekslusifisme, benteng isolasi(onisme), dan benteng-benteng lain. Benteng yang kukuh adalah iman kepada tuhan.”[27]
Yang kedua adalah Yunasril Ali, guru besar tasawuf dari almamater yang sama dengan Kautsar Azhari Noer, UIN Jakarta. Beliau mengatakan: “memang tidak semua agama sama. Secara konkret dapat kita saksikan bahwa satu agama berbeda dengan yang lain, namun perbedaan itu tidak senantiasa memastikan bahwa yang satu benar dan yang lain keliru. Akan tetapi, sejauh perbedaan dan manifestasi, bukan substansi, pasti semua agama itu benar”.[28]Disisi lain, ia mengatakan: “esoterisme lebih menukik kepada substansi agama-agama daripada melihat perbedaan bentuk dan format. Kemasan bisa beragam, tetapi isi adalah satu”.[29]
Yang ketiga yaitu prof. Abdul Munir Mulkhan, seorang guru besar UIN Jogjakarta. Dengan menganalogikan seperti ini: “ada fakta natural biologis universal kemanusiaan yang dialami semua orang, tak peduli apa ia kafir atau sangat soleh. Tidak makan dan minum beberapa hari akan menyebabkan seseorang mati kelaparan, walaupun orang tersebut sangat saleh ataupun kafir”.[30]Selanjutnya, beliau menulis: “pluralisme keberagamaan atau keagamaan hanyalah simbolisasi fakta-fakta sosial budaya yang hampir mustahil dihapus yang jika kita mau, bisa saja kita sebut keragaman bilik surgawi dan keragaman pintu memahami kehendak tuhan. Jika kita meyakini bahwa tuhan itu satu tiada tanding dan sesuatu lain yang menyamai, maka tuhan yang diyakini pemeluk agama berbeda itu tentu adalah tuhan yang kita yakini itu sendiri”.[31]
E. tanggapan atas pernyataan mereka
Apabila agama dilogikakan atas logika manusia hanya untuk mencari titik temu kebenaran tentu saja tidak bisa diterima. Karena ajaran setiap agama sangat berbeda dengan ajaran agama yang lain. Sebagai contoh dalam hal pengurusan jenazah. Manakah yang lebih baik, Islam ataukah hindu/budha yang dibakar mayatnya. Apabila para cendekiawan yang berpaham seperti yang telah disebutkan diatas konsekuaen dengan pendapatnya, sebaiknya mayat mereka tidak usah dirawat dengan cara-cara yang Islami. Dan mereka juga harus konsekuen dengan ibadah mereka, misalnya hari ini ke masjid, besok ke gereja, besok lagi ke kuil, besok lagi ke pura.
Dan apabila mereka meyakini bahwa tuhan umat Islam sama dengan tuhan umat-umat lain, maka pertanyaannya siapakah tuhannya? Apakah ia masih meyakini bahwa Allah SWT adalah tuhan dia?
Allah SWT telah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 85:
و من يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه و هو فى الآخرة من الخاسرين
Yang artinya: barangsiapa mencari agama selain Islam maka “tidak akan” diterima dan dia termasuk orang-orang yang merugi.
Tokoh katolik yang juga seorang jesuit, pendeta Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa pluralisme adalah paham yang menolak ekslusifisme kebenaran. Menurutnya pula, pluralisme hanya ada  di permukaan saja lebih rendah hati. Bukan namanya toleransi apabilauntuk mau saling menerima dan dituntut untuk melepaskan apa yang mereka yakini.[32]
F. penutup
Melalui makalah yang telah saya buat, sudah sepantasnya kita mengakui hanya Islamlah yang paling benar. Yaitu dengan mengesakan Allah dan menjalankan perintahnya Adapun “ahli kitab” adalah mereka yang tidak merubah ajaran dari nabi sebelumnya dan masih beriman kepada Allah.
Tentang kesatuan agama-agama menurut para cendekiawan yang telah saya sebutkan diatas jelas sangat rancu sekali. Karena otomatis dia juga menyuruh orang lain untuk mengakui bahwa agama lain sama benarnya. Kalau sudah begitu, apakah Islam masih diyakininya benar? Maka biarlah pemeluk agama itu meyakini kebenaran agamanya masing-masing.
Wallahua’lam bishshawab








DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril,sufisme dan pluralisme:memahami hakikat agama dan relasi agama-agama, Quanta, Jakarta,2012
 Bagir, Haidar (ed), menuju persatuan umat: pandangan intelektual Muslim Indonesia, mizan, Bandung
Effendi, Djohan, pesan-pesan Al-Qur’an:mencoba mengerti intisari kitab suci, serambi, Jakarta, 2012
Effendy, Edy A(ed), dekonstruksi Islam madzhab Ciputat, zaman, Bandung, 1999
Hasib, Kholili, kritik atas konsep abrahamic faiths dalam studi agama, CIOS-ISID, Ponorogo, 2010
Husaini, Adian, Islam liberal, pluralisme agama dan diabolisme intelektual, risalah gusti, Surabaya, 2005
_____________, tinjauan historis konflik yahudi-kristen-Islam, gema insani press, Jakarta, 2004
______________, exclusivism and evangelism in second vatikan council: a critical reading of the second Vatikan councils document in the light of AD gentes and the nostra aetated, disertasi Ph.D tidak diterbitkan, ISTAC, Malaysia, 2009
Ilyas, Hamim, dan ahli kitab pun masuk surga:pandangan Muslim modernis terhadap keselamatan non Muslim, safiria insania press, Yogyakarta, 2005
Kimball, Charles, kala agama jadi bencana, mizan, Bandung,2003
Mulkhan, Abdul Munir, satu tuhan seribu tafsir, impulse, Yogyakarta, 2007
Muslih, Muhammad, pengantar ilmu filsafat, darussalam university press, Ponorogo, 2008
Oxford learners pocket dictionary, fourth edition, oxford university press

Russell, Bertrand, sejarah filsafat barat, pustaka pelajar, Yogyakarta, 2007
Schuon, Fritjof, esoterism:as a principle and as a way,suhail academy, Pakistan, 2005
Shihab, Quraish, tafsir al-misbah:pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an, volume 2, lentera hati, Jakarta, 2009
Thoha, Anis Malik, tren pluralisme agama:tinjauan kritis, perspektif, Jakarta, 2005
Zarkasyi, Hamid Fahmy, misykat:refleksi tentang westernisasi, liberalisasi, dan islam, INSIST, Jakarta,2012
Dari media
Kompas
Majalah Gontor



[1]Ali, Yunasril,sufisme dan pluralisme:memahami hakikat agama dan relasi agama-agama, Quanta, Jakarta,2012 hal 89
[2]Madjid, Nurcholish dalam Haidar Bagir (ed), menuju persatuan umat: pandangan intelektual Muslim Indonesia, mizan, Bandung,2012 hal 36
[3] Kompas edisi sabtu, 8 september 2012/ayomi semua kelompok
[4] Indonesia consorium for religious pluralism
[5]International centre for Islam and pluralism
[6] Centre for study religious and conflict
[7] Husaini, Adian, tinjauan historis konflik yahudi-kristen-Islam, gema insani press, Jakarta, 2004, hal 20
[8] Ibid hal 26
[9] Hasib, Kholili, kritik atas konsep abrahamic faiths dalam studi agama, CIOS-ISID, Ponorogo, 2010 hal 15
[10] Ibid hal 16
[11]Untuk lebih jelasnya lihat Hasib, Kholili, rancunya wacana agama samawi, majalah Gontor edisi 09 tahun VII, Januari 2010
[12]Ilyas, Hamim, dan ahli kitab pun masuk surga:pandangan Muslim modernis terhadap keselamatan non Muslim, safiria insania press, Yogyakarta, 2005 hal 68-69
[13]Oxford learners pocket dictionary, fourth edition, oxford university press
[14]Zarkasyi, Hamid Fahmy, misykat:refleksi tentang westernisasi, liberalisasi, dan islam, INSIST, Jakarta,2012 hal 138
[15]Thoha, Anis Malik, tren pluralisme agama:tinjauan kritis, perspektif, Jakarta, 2005 hal 24-25
[16]Russell, Bertrand, sejarah filsafat barat, pustaka pelajar, Yogyakarta, 2007 hal 105
[17]Muslih, Muhammad, pengantar ilmu filsafat, darussalam university press, Ponorogo, 2008 hal 35
[18] Ibid hal 51
[19]Effendi, Djohan, pesan-pesan Al-Qur’an:mencoba mengerti intisari kitab suci, serambi, Jakarta, 2012hal 57-58
[20]Kimball, Charles, kala agama jadi bencana, mizan, Bandung,2003 hal 297
[21] Husaini, Adian, exclusivism and evangelism in second vatikan council: a critical reading of the second Vatikan councils document in the light of AD gentes and the nostra aetated, disertasi Ph.D tidak diterbitkan, ISTAC, Malaysia, 2009 hal 20
[22] Husaini, Adian, ibid hal 29
[23] Kimball, Charles, kala agama jadi bencana, opcit hal 88
[24] Shihab, Quraish, tafsir al-misbah:pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an, volume 2, lentera hati, Jakarta, 2009 hal 140
[25]Schuon, Fritjof, esoterism:as a principle and as a way,suhail academy, Pakistan, 2005 hal 15
[26]Effendy, Edy A(ed), dekonstruksi Islam madzhab Ciputat, zaman, Bandung, 1999 hal 51
[27] Ibid hal 64
[28] Ali, Yunasril, sufisme dan pluralisme:memahami hakikat agama dan relasi agama-agama, Quanta, Jakarta, 2012 hal 24
[29] Ibid hal 32
[30] Mulkhan, Abdul Munir, satu tuhan seribu tafsir, impulse, Yogyakarta, 2007 hal 159
[31] Ibid hal 166
[32]Husaini, Adian, Islam liberal, pluralisme agama dan diabolisme intelektual, risalah gusti, Surabaya, 2005 hal 59-61

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template