Oleh: Abby Fadhillah Yahya, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Program Studi Perbandingan Agama 4.
A. pendahuluan
Pada dasarnya,
manusia sengaja diturunkan oleh Allah
SWT ke bumi ini untuk menjadi khalifah.
Dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 30
Allah SWT berfirman:
و إذ قال ربّك للملائكة إنّى جاعل فى الأرض خليفة*قالو أتجعل فيها من
يفسد فيها و يسفك الدّماء*و نحن نسبّح بحمدك و نقدّس لك*قال إنّى أعلم ما لا
تعلمون
Yang artinya: dan tuhanmu telah mengatakan kepada malaikat sesungguhnya
aku hendak menjadikan(adam) sebagai khalifah. Mereka berkata: mengapa engkau hendak
menjadikan khalifah orang yang berbuat kerusakan padanya dan pertumpahan darah
padahal kami senantiasa bertasbih memuji engkau dan mensucikan engkau? Allah
berfirman: “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Tugas dari seorang khalifah adalah menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangannya. Maka, selama manusia berada di bumi,
Allah telah memberikan 5 petunjuk untuk manusia yang bisa mengarahkan manusia
untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Salah satu daripada
petunjuk tersebut adalah petunjuk/hidayah tentang agama. Karena, dalam agama
terdapat norma-norma dan ajaran yang bisa menuntun manusia ke dalam budi
pekerti dan perilaku yang baik. Akan tetapi, pada hari ini kita sering
menyaksikan konflik yang mengatasnamakan agama dan seringkali agama dianggap
sebagai “biang kerok” pertikaian seperti yang baru-baru ini adalah kasus
syiah di Sampang dan kasus ahmadiyah di Banten.
Menurut orang
yang anti agama,kehadiran agama hanya akan mempersukar dan menghitamkan lembaran-lembaran
kehidupan, yang selanjutnya bermuara pada keporakporandaan dan kerusakan.[1]Terlebih
lagi masalah kafir-pengkafiran antar pemeluk agama. Dalam Islam sendiri, muncul
juga istilah kafir pengkafiran setelah terjadi tiga peristiwa besar, yang pertama
adalah pembunuhan Usman, yang kedua adalah peperangan Ali dengan Muawiyah dan
Ali dengan Aisyah,dan pengejaran keturunan umawiyah oleh keturunan Abbasiyah.[2]Sedangkan
menurut prof. DR. Zainun Kamal, dekan fakultas ushuluddin UIN Jakarta, berbagai konflik muncul terutama setelah
persinggungan agama dengan politik.[3]
Diantara solusi
yang ditawarkan oleh para cendekiawan pemeluk agama terhadap permasalahan di
atas adalah paham pluralisme, terutama sekali bagi cendekiawan dan agamawan di
Indonesia yang mayoritas masyarakatnya majemuk.Berbagai macam lembaga didirikan
guna mendukung paham ini. Sebutlah the wahid institute, ICRP[4],
ICIP.[5]
Bahkan sampai masuk ke ranah pusat studi di perguruan tinggi seperti PUSHAM di
UII dan UNMUH Malang, CSRC[6] di
UIN Jakarta, CRCS dan ICRS di UGM Yogyakarta dan lain-lain. Para cendekiawan
itu tidak menyadari dampak yang diakibatkan oleh pemahaman seperti ini. Karena
dinilai berbahaya oleh sejumlah ulama dan umat Islam, maka pada tahun 2005, MUI
mengharamkan paham ini.
Para cendekiawan
muslim umumnya sering menjustifikasi ayat ada Al-Qur’an surat Ali imran ayat 64
yang berbunyi:
قل يآ أهل
الكتاب تعالو إلى كلمة سواء بيننا و بينكم
ألاّ نعبد إلاّ الله و لا تشرك به شيئا ولا يتّخذ بعضنا بعضا أربابامندونالله*
فإنتولّوفقولواشهدوبأنّمسلمون
Yang artinya:katakanlah hai ahli kitab, marilah berpegang kepada
suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatu pun
dan tidak sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah,
jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: saksikanlah bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri(kepada Allah).
Menarik untuk
dicermati bahwa terdapat kalimat yang “simpang siur”. Kata “kalimatun sawa” sering
disalah pahami oleh para cendekiawan Muslim, dalam artian mereka yang berpaham
pluralis. Menarik juga untuk dicermati, bahwa selain daripada kata “kalimatun
sawa” disana juga terdapat kata “ahlul kitab”. Karena itulah ayat
ini sering menjadi justifikasi sekaligus perdebatan diantara para cendekiawan.
Pertanyaannya adalah:
1.
Apakah
maksud daripada kata “kalimatun sawa” pada ayat diatas? Dan apakah kaitannya
dengan pluralisme agama?
2.
Bagaimana pendapat para cendekiawan mengenai
ayat tersebut diatas, baik yang pluralis maupun yang tidak?
3.
Siapakah
“ahlul kitab” yang dimaksud pada ayat diatas?
B. siapakah ahli kitab itu?
Saya akan membahas terlebih dulu mengenai “ahlul
kitab”. Karena pada ayat pertama surat ini (Ali Imran ayat 64) kata yang
pertama kali disebut adalah ahli kitab. Para cendikiawan sering memperdebatkan
tentang hal ini tentang bagaimana hukumnya menikahi mereka? Dan tentang bagian
warisan untuk mereka? Karena, pada zaman nabi pun orang kafir dari yahudi dan
nasrani disebut dengan nama ahli kitab karena agama inilah yang lahir terlebih
dahulu sebelum agama Islam.
Kaum Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah
keturunan Abraham(Ibrahim) dari garis Abraham-Isaaq-Jacob. Istilah yahudi
sendiri sebenarnya melekat pada bangsa sekaligus pada agama.[7]
Menurut kaum yahudi, nama hebrew(ibrani) melekat pada Abraham, yang mulanya
bernama Abram. Yahudi mengklaim Abraham sebagai putra dari terah yang merupakan
generasi ke 10 dari Noah putra Sem.[8]
Sedangkan agama
nasrani terjadi akibat penyimpangan sekitar kurang lebih 60 tahun setelah “kegaiban”
nabi Isa. Aktor yang paling bertanggung jawab atas penyimpangan agama nasrani
adalah paulus. Diantara ajaran baru paulus yang bertentangan adalah ketuhanan
yesus, tuhan mempunyai anak, menghalalkan minuman keras, menghalalkan babi,
dosa warisan dan sebagainya.[9]Sehingga
Huston Smith menyimpulkan bahwa agama kristen adalah agama sejarah. Karena
tidak dilandasi lagi oleh wahyu samawi dan selalu berubah.[10]
Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa kedua agama yahudi dan nasrani
adalah agama budaya dan tidak dikenal pada zaman nabi.[11]
Rasyid Ridha memasukkan “ahlul kitab”menggunakan
kriteria memiliki kitab suci atau mengikuti nabi yang dikenal baik dalam
tradisi agama Ibrahim maupun yang bukan. Karena itu, dia juga memasukkan kaum
majusi, hindu, konghucu dan lain-lain ke dalam komunitas ahli kitab. Inilah
yang sering dipakai oleh cendekiawan berpaham pluralis. Sedangkan Muhammad
Abduh hanya memasukkan kategori “ahlul kitab”hanya ke dalam golongan
yahudi, nasrani, dan shabi’in saja.[12]
Akan tetapi, ada
ayat Al-Qur’an yang menyanggah tentang pendapat Muhammad Abduh diatas seperti surat Al-baqarah ayat 121 yang berbunyi:
الذين آتينا هم الكتاب يتلونه حقّ تلاوته أولئك يؤمنون به* ومن يكفر
به فأولئك هم الخاسرون
Yang artinya: orang-orang yang telah kami berikan Al-kitab
kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. Dan barang siapa
yang ingkar kepadanya maka ia adalah orang yang merugi.
Maka jelaslah,
dari konteks ayat diatas “ahlul kitab” adalah orang yang diturunkan
kitab oleh nabi-nabi sebelum Muhammad dan tidak merubah isi daripada kitab suci
tersebut lalu mengamalkannya. Tidak seperti “ahlul kitab” pada zaman
sekarang yang sudah banyak berubah.
C. pluralisme agama
Pluralisme
dalam bahasa Inggris berarti“used for referring to more than one”.[13]
Dalam artian, sesuatu yang dipakai untuk mengacu pada jumlah yang banyak. Ada
lagi istilah lain dalam menyebut/ mengartikan pluralisme yaitu pengakuan
terhadap kualitas majemuk dan semua pendapat itu sama benarnya.[14]
Sebab dari
pemahaman ini adalah dari faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama itu sendiri
baik dalam masalah aqidah, sejarah, maupun keyakinan dan doktrin. Adapun faktor
eksternal bisa timbul dari dua hal, yaitu sosial politis dan faktor ilmiah. Faktor internal berkeyakinan bahwa apa yang
diyakini dan diimaninya adalah paling benar dan paling superior. Karena ,Terdapat
2 bagian ideologi manusia, yang pertama adalah manusia yang beriman dan teguh
terhadap wahyu samawi, mengimani hal-hal yang bersifat metafisik dan yang kedua
adalah orang yang tidak beriman kecuali hanya kepada akal saja dan tidak
mengimani hal-hal yang bersifat metafisik.[15]
Adapun
dasar-dasar daripada pemahaman ini terbagi menjadi empat kategori: humanisme
sekuler .Humanisme sekuler terjadi pada saat zaman Protagoras dimana doktrinnya
yang sangat khas adalah “manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia
menganggapnya demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka tak
demikian pula” maksudnya adalah jika manusia berbeda pandangan, maka tidak
ada kebenaran objektif sesuai dengan mana yang benar dan mana yang salah.[16] Lalu dilanjutkan pula dengan Auguste Comte
yang menawarkan gagasan filsafat positivisme yang menolak sesuatu yang bersifat
metafisik.[17]
Selain itu adapula teologi global, sinkretisme, dan perennial wisdom(hikmah
abadi).[18]
Selain itu, adapula istilah yang hampir mirip dan “ujung-ujungnya”
pluralisme juga, yaitu “inklusif”.
Para
cendekiawan Muslim khususnya, sering menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an yang
mendukung gagasan-gagasan mereka di atas. Seperti contoh surat Al-baqarah ayat
62 yang berbunyi seperti ini:
إنّالذين
آمنووالذّين هادواوالنّصارى والصّابئين
من آمن بالله واليومالآخروعمل
صالحافلهم أجرهم عندربّهم
فلاخوف عليهم ولاهم
يحزنون
Yang artinya:
sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beragama yahudi,
nasrani, dan shabiin yang beriman kepada Allah dan hari akhir mereka tidak akan
takut di dalamnya dan mereka tidak pula bersedih hati.
Saya akan
mengambil contoh justifikasi pernyataan yang mendukung paham pluralisme yang
mengacu pada ayat tersebut diatas pada pernyataan seorang cendekiawan Muslim
dibawah ini:
“surat ini juga mengecam sikap ekslusif terhadap bani Israel, yakni
sikap yang hanya mengakui dan membenarkan wahyu yang diperuntukkan bagi mereka
dan menolak wahyu yang diberikan kepada umat lain. Sikap ekslusif ini
digambarkan dengan sebagian orang yahudi dan nasrani yang mengatakan bahwa
kelompok mereka saja yang akan menikmati kehidupan surgawi. Masing-masing
pihak, baik kalangan yahudi maupun nasrani, menafikan kebaikan pihak lain
seperti juga orang-orang lain yang tidak memiliki pengetahuan. Sikap ekslusif
ini dikoreksi oleh tuhan dengan mengemukakan prinsip yang bersifat inklusif,
dan menegaskan dengan ungkapan yang jelas bahwa orang-orang yang beriman,
asalkan meyakini hari akhir dan berbuat baik kepada mereka, siapa pun mereka,
akan beroleh ganjaran, mereka tidak akan ditimpa rasa takut dan tak akan
bersedih hati”.
Lalu diakhir
kalimat sang cendekiawan Muslim mengatakan: “penegasan ini menunjukkan bahwa
sikap inklusif dan nonsektarian adalah sikap yang ditekankan oleh tuhan agar
menjadi anutan bagi kaum muslimin”.[19]Disitu,
dapat kita lihat bahwa si cendekiawan menggunakan istilah-istilah yang
kelihatannya bagus. Si cendekiawan tersebut menggunakan istilah “inklusif”
seperti yang telah saya katakan sebelumnya untuk disandarkan kepada Islam dan
dicocok-cocokkan untuk Islam.
Sebenarnya, istilah diatas hanya terdapat pada
doktrin katolik saja. Sikap inklusif adalah pandangan penyelamatan yang
dilakukan tuhan pada “semua tradisi agama” dan wahyu tuhan yang sepenuhnya melekat pada yesus
kristus.[20]Dimasa
pemerintahan gereja Vatikan kedua, masalah ini menjadi problematika keagamaan
katolik. Ada beberapa pendekatan dalam memandang keselamatan agama lain dalam
agama katolik. Yang pertama adalah sikap ekslusif, yang mana memandang
bahwa hanya yang mematuhi dan berpegang
teguh kepada ajaran-ajaran kristiani sajalah yang akan mendapat keselamatan.
Yang kedua adalah inklusif, yang mana memandang bahwa keselamatan memungkinkan
kepada pemeluk agama yang lain. Yang ketiga adalah pluralis. Dalam teologi
pluralisme, tidak ada agama yang lebih baik daripada agama yang lain. Dan
setiap agama menuju ke jalan kebenaran menuju tuhan.[21]
Maka dari situlah muncul jargon khas gereja pada waktu itu “extra eccelsiam
nulla sallus” yang berarti tidak ada keselamatan di luar gereja.[22]
Charles Kimball mengatakan bahwa ketika pengikut yang taat dan bersemangat
mengangkat klaim kebenaran agama mereka hingga ke tingkat klaim mutlak, maka
sebenarnya mereka membuka pintu bagi
kemungkinan agama mereka itu menjadi agama jahat.[23]
D. kesatuan agama-agama
dalam pandangan cendekiawan
Quraish Shihab dalam tafsir al-mishbah
mengatakan bahwa “kalimatun sawa” , pada surat Ali Imran ayat 64 berarti
“menuju ketinggian dan ketetapan yang lurus”. Dalam artian untuk
menyembah Allah SWT.[24]
Akan tetapi, kalimat ini lagi-lagi disalah artikan oleh cendekiawan kita.
Para
cendekiawan Muslim yang berpaham pluralis umumnya menggunakan prinsip esoterisme
untuk menjustifikasi paham pluralisme dan kesatuan agama-agama. Esoteris
berasal dari kata “soteric” dalam bahasa Yunani yang berarti “within”
atau dari dalam. Selain esoteris
sebenarnya ada juga eksoteris. Eksoteris yang berarti “common sense”
bermakna yang bisa dirasakan dan dilihat. Tentang esoteris dan eksoteris ini
Fritjof Schuonmengatakan seperti ini: “esoterism, by its interpretations,
its revelations and its interiorizing and essentializing operations, tends to
realize pure and direct objectivity, this is the reason for its existence”.[25](esoteris
dengan segala penafsirannya, dan yang berada di bagian dalam dan segala hal-hal
yang pokok cenderung untuk menyatakan kebenaran dan objek yang langsung.). Dari
sini kita bisa melihat bahwasanya esoterisme memandang kebenaran dari inti.
Berikut ini,
kita akan melihat pandangan-pandangan pluralisme dan kesatuan agama-agama di
antara para cendekiawan.Yang pertama adalah Kautsar Azhari Noer, seorang guru
besar perbandingan agama UIN Jakarta dan universitas Indonesia. Beliau mengutip
pernyataan para sufi sebagai berikut: “tuduhan lain yang sering dilontarkan
kepada sufisme adalah bahwa beberapa
sufi seperti Al-Hallaj dan Ibnu arabi mengajarkan doktrin kesatuan agama-agama,
menurut tuduhan ini adalah bahwa semua agama pada hakikatnya adalah satu dan
mempunyai tujuan yang sama, yaitu tuhan yang maha esa. Perbedaan antara agama
terletak hanya pada namanya, cara ibadahnya, bukan pada tujuannya. Perbedaan
itu tidak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk sampai kepada
tujuan yang sama. Agama para penyembah berhala dan agama para penyembah api
sama dengan agama para penyembah tuhan”.[26]
Di akhir tulisan ini beliau mengatakan: “seperti saya katakan pada awal
pembicaraan ini, berdasar pada bukti-bukti historis, setiap peneliti yang jujur
harus berkesimpulan bahwa kelompok Islam yang paling toleran, paling simpati, paling
terbuka, dan ramah terhadap agama lain adalah agama para sufi. Beberapa contoh
historis telah dipaparkan sekedarnya dalam tulisan ini. Sikap toleransi,
simpati, keterbukaan, dan keramahan para sufi terhadap agama-agama lain
didorong oleh keyakinan mereka bahwa agama (Islam) mereka pribadi cukup luas
dan dalam. Sikap seperti ini tidak merusak iman mereka. Ia tidak dapat dilihat
sebagai sebagai bukti dan ketidak konsistenan dan kegoyahan iman mereka. Justru
sebaliknya, sikap ini menunjukkan kekukuhan sejati iman mereka. Kekukuhan
sejati iman para sufi justru terbukti ketika mereka berani memasuki jantung
agama-agama lain. Kekukuhan sejati iman seseorang tidak memerlukan benteng
ketertutupan, benteng ekslusifisme, benteng isolasi(onisme), dan benteng-benteng
lain. Benteng yang kukuh adalah iman kepada tuhan.”[27]
Yang kedua
adalah Yunasril Ali, guru besar tasawuf dari almamater yang sama dengan Kautsar
Azhari Noer, UIN Jakarta. Beliau mengatakan: “memang tidak semua agama sama.
Secara konkret dapat kita saksikan bahwa satu agama berbeda dengan yang lain,
namun perbedaan itu tidak senantiasa memastikan bahwa yang satu benar dan yang
lain keliru. Akan tetapi, sejauh perbedaan dan manifestasi, bukan substansi,
pasti semua agama itu benar”.[28]Disisi
lain, ia mengatakan: “esoterisme lebih menukik kepada substansi agama-agama
daripada melihat perbedaan bentuk dan format. Kemasan bisa beragam, tetapi isi
adalah satu”.[29]
Yang ketiga
yaitu prof. Abdul Munir Mulkhan, seorang guru besar UIN Jogjakarta. Dengan
menganalogikan seperti ini: “ada fakta natural biologis universal
kemanusiaan yang dialami semua orang, tak peduli apa ia kafir atau sangat
soleh. Tidak makan dan minum beberapa hari akan menyebabkan seseorang mati
kelaparan, walaupun orang tersebut sangat saleh ataupun kafir”.[30]Selanjutnya,
beliau menulis: “pluralisme keberagamaan atau keagamaan hanyalah simbolisasi
fakta-fakta sosial budaya yang hampir mustahil dihapus yang jika kita mau, bisa
saja kita sebut keragaman bilik surgawi dan keragaman pintu memahami kehendak
tuhan. Jika kita meyakini bahwa tuhan itu satu tiada tanding dan sesuatu lain
yang menyamai, maka tuhan yang diyakini pemeluk agama berbeda itu tentu adalah
tuhan yang kita yakini itu sendiri”.[31]
E. tanggapan atas pernyataan mereka
Apabila agama
dilogikakan atas logika manusia hanya untuk mencari titik temu kebenaran tentu
saja tidak bisa diterima. Karena ajaran setiap agama sangat berbeda dengan
ajaran agama yang lain. Sebagai contoh dalam hal pengurusan jenazah. Manakah
yang lebih baik, Islam ataukah hindu/budha yang dibakar mayatnya. Apabila para
cendekiawan yang berpaham seperti yang telah disebutkan diatas konsekuaen
dengan pendapatnya, sebaiknya mayat mereka tidak usah dirawat dengan cara-cara
yang Islami. Dan mereka juga harus konsekuen dengan ibadah mereka, misalnya
hari ini ke masjid, besok ke gereja, besok lagi ke kuil, besok lagi ke pura.
Dan apabila
mereka meyakini bahwa tuhan umat Islam sama dengan tuhan umat-umat lain, maka
pertanyaannya siapakah tuhannya? Apakah ia masih meyakini bahwa Allah SWT
adalah tuhan dia?
Allah SWT telah
berfirman dalam surat Ali Imran ayat 85:
و من يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه و هو فى الآخرة من الخاسرين
Yang artinya:
barangsiapa mencari agama selain Islam maka “tidak akan” diterima dan
dia termasuk orang-orang yang merugi.
Tokoh katolik
yang juga seorang jesuit, pendeta Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa
pluralisme adalah paham yang menolak ekslusifisme kebenaran. Menurutnya pula,
pluralisme hanya ada di permukaan saja
lebih rendah hati. Bukan namanya toleransi apabilauntuk mau saling menerima dan
dituntut untuk melepaskan apa yang mereka yakini.[32]
F. penutup
Melalui makalah
yang telah saya buat, sudah sepantasnya kita mengakui hanya Islamlah yang
paling benar. Yaitu dengan mengesakan Allah dan menjalankan perintahnya Adapun
“ahli kitab” adalah mereka yang tidak merubah ajaran dari nabi
sebelumnya dan masih beriman kepada Allah.
Tentang
kesatuan agama-agama menurut para cendekiawan yang telah saya sebutkan diatas
jelas sangat rancu sekali. Karena otomatis dia juga menyuruh orang lain untuk
mengakui bahwa agama lain sama benarnya. Kalau sudah begitu, apakah Islam masih
diyakininya benar? Maka biarlah pemeluk agama itu meyakini kebenaran agamanya
masing-masing.
Wallahua’lam bishshawab
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril,sufisme dan pluralisme:memahami hakikat agama dan
relasi agama-agama, Quanta, Jakarta,2012
Bagir, Haidar (ed), menuju
persatuan umat: pandangan intelektual Muslim Indonesia, mizan, Bandung
Effendi, Djohan, pesan-pesan Al-Qur’an:mencoba mengerti intisari
kitab suci, serambi, Jakarta, 2012
Effendy, Edy A(ed), dekonstruksi Islam madzhab Ciputat, zaman,
Bandung, 1999
Hasib, Kholili, kritik atas konsep abrahamic faiths dalam studi
agama, CIOS-ISID, Ponorogo, 2010
Husaini, Adian, Islam liberal, pluralisme agama dan diabolisme
intelektual, risalah gusti, Surabaya, 2005
_____________, tinjauan historis konflik yahudi-kristen-Islam, gema
insani press, Jakarta, 2004
______________, exclusivism and evangelism in second vatikan
council: a critical reading of the second Vatikan councils document in the
light of AD gentes and the nostra aetated, disertasi Ph.D tidak diterbitkan,
ISTAC, Malaysia, 2009
Ilyas, Hamim, dan ahli kitab pun masuk surga:pandangan Muslim
modernis terhadap keselamatan non Muslim, safiria insania press, Yogyakarta,
2005
Kimball, Charles, kala agama jadi bencana, mizan, Bandung,2003
Mulkhan, Abdul Munir, satu tuhan seribu tafsir, impulse,
Yogyakarta, 2007
Muslih, Muhammad, pengantar ilmu filsafat, darussalam university
press, Ponorogo, 2008
Oxford learners pocket dictionary, fourth edition, oxford
university press
Russell, Bertrand, sejarah filsafat barat, pustaka pelajar,
Yogyakarta, 2007
Schuon, Fritjof, esoterism:as a principle and as a way,suhail
academy, Pakistan, 2005
Shihab, Quraish, tafsir al-misbah:pesan, kesan, dan keserasian
Al-Qur’an, volume 2, lentera hati, Jakarta, 2009
Thoha, Anis Malik, tren pluralisme agama:tinjauan kritis,
perspektif, Jakarta, 2005
Zarkasyi, Hamid Fahmy, misykat:refleksi tentang westernisasi,
liberalisasi, dan islam, INSIST, Jakarta,2012
Dari media
Kompas
Majalah Gontor
[1]Ali, Yunasril,sufisme dan
pluralisme:memahami hakikat agama dan relasi agama-agama, Quanta, Jakarta,2012
hal 89
[2]Madjid, Nurcholish dalam Haidar
Bagir (ed), menuju persatuan umat: pandangan intelektual Muslim Indonesia,
mizan, Bandung,2012 hal 36
[3] Kompas edisi sabtu, 8 september
2012/ayomi semua kelompok
[4] Indonesia consorium for
religious pluralism
[5]International centre for Islam
and pluralism
[6] Centre for study religious and
conflict
[7] Husaini, Adian, tinjauan
historis konflik yahudi-kristen-Islam, gema insani press, Jakarta, 2004, hal 20
[8] Ibid hal 26
[9] Hasib, Kholili, kritik atas
konsep abrahamic faiths dalam studi agama, CIOS-ISID, Ponorogo, 2010 hal 15
[10] Ibid hal 16
[11]Untuk lebih jelasnya lihat Hasib,
Kholili, rancunya wacana agama samawi, majalah Gontor edisi 09 tahun VII,
Januari 2010
[12]Ilyas, Hamim, dan ahli kitab pun
masuk surga:pandangan Muslim modernis terhadap keselamatan non Muslim, safiria
insania press, Yogyakarta, 2005 hal 68-69
[13]Oxford learners pocket
dictionary, fourth edition, oxford university press
[14]Zarkasyi, Hamid Fahmy,
misykat:refleksi tentang westernisasi, liberalisasi, dan islam, INSIST,
Jakarta,2012 hal 138
[15]Thoha, Anis Malik, tren
pluralisme agama:tinjauan kritis, perspektif, Jakarta, 2005 hal 24-25
[16]Russell, Bertrand, sejarah
filsafat barat, pustaka pelajar, Yogyakarta, 2007 hal 105
[17]Muslih, Muhammad, pengantar ilmu
filsafat, darussalam university press, Ponorogo, 2008 hal 35
[18] Ibid hal 51
[19]Effendi, Djohan, pesan-pesan
Al-Qur’an:mencoba mengerti intisari kitab suci, serambi, Jakarta, 2012hal 57-58
[20]Kimball, Charles, kala agama jadi
bencana, mizan, Bandung,2003 hal 297
[21] Husaini, Adian, exclusivism and
evangelism in second vatikan council: a critical reading of the second Vatikan
councils document in the light of AD gentes and the nostra aetated, disertasi Ph.D
tidak diterbitkan, ISTAC, Malaysia, 2009 hal 20
[22] Husaini, Adian, ibid hal 29
[23] Kimball, Charles, kala agama
jadi bencana, opcit hal 88
[24] Shihab, Quraish, tafsir
al-misbah:pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an, volume 2, lentera hati,
Jakarta, 2009 hal 140
[25]Schuon, Fritjof, esoterism:as a
principle and as a way,suhail academy, Pakistan, 2005 hal 15
[26]Effendy, Edy A(ed), dekonstruksi
Islam madzhab Ciputat, zaman, Bandung, 1999 hal 51
[27] Ibid hal 64
[28] Ali, Yunasril, sufisme dan
pluralisme:memahami hakikat agama dan relasi agama-agama, Quanta, Jakarta, 2012
hal 24
[29] Ibid hal 32
[30] Mulkhan, Abdul Munir, satu tuhan
seribu tafsir, impulse, Yogyakarta, 2007 hal 159
[31] Ibid hal 166
[32]Husaini, Adian, Islam liberal,
pluralisme agama dan diabolisme intelektual, risalah gusti, Surabaya, 2005 hal
59-61
0 komentar:
Posting Komentar