Sejarah
Dakwah dan Pentingnya Dakwah dalam Islam
Oleh: Mursyidul Haq Firmansyah
Mahasiswa Program Studi Aqidah Filsafat 4, Fakultas Ushuluddin, Institut Studi Islam Darussalam Gontor
Sejarah dakwah Islam, Rasulullah SAW juga sangat memperhatikan
metode dakwah agar pesan dakwah dapat diterima dengan baik bagi mad’u (yang
didakwahi).
Hal itu dapat dilihat ketika Rasulullah saw melaksanakan wahyu
Allah Ta’ala untuk mentauhidkan akidah umat yang keliru dengan menuhankan
banyak Illah dan membersihkan peribadahan dari segala bentuk kesyirikan. Beliau
secara khusus memiliki sebuah tugas mulia dengan jalan mendakwahkan dien Islam
ini kepada umat melalui metode yang haq yaitu berupa cara-cara yang sesuai
dengan petunjuk Allah Ta’ala. Diantara metode dakwah beliau saw adalah:
1. Bil hikmah wal mau’izhah
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” [1]
Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan
antara yang hak dengan yang bathil. Oleh sebab itulah Allah Ta’ala meletakkan
al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai asas pedoman dakwah bagi Rasulullah dan juga
bagi tiap umat yang bertugas meneruskan dakwah beliau hingga akhir zaman.
Pada ayat tersebut diatas dapat dipahami bahwa cara berdakwah yang
diperintah Allah Ta’ala adalah sebagai berikut,
Dakwah bil hikmah, yaitu metode dakwah dengan memberi perhatian
yang teliti terhadap keadaan dan suasana yang melingkungi para mad’u
(orang-orang yang didakwahi), juga memperhatikan materi dakwah yang sesuai
dengan kadar kemampuan mereka dengan tidak memberatkan mereka sebelum mereka
bersedia untuk menerimanya. Metode ini juga membutuhkan cara berbicara dan
berbahasa yang santun dan lugas. Sikap ghiroh yang berlebihan serta
terburu-buru dalam meraih tujuan dakwah sehingga melampaui dari hikmah itu
sendiri, lebih baik dihindari oleh seorang pendakwah.
Dakwah dengan cara mau’izhah al-hasanah, yaitu metode dakwah
dengan pengajaran yang meresap hingga ke hati para mad’u. Pengajaran yang
disampaikan dengan penuh kelembutan akan dapat melunakkan kerasnya jiwa serta
mencerahkan hati yang kelam dari petunjuk dien. Pada beberapa da’i, ada yang
masih saja menggunakan metode dakwah yang berseberangan dengan hal ini, yaitu
dengan cara memaksa, sikap yang kasar, serta kecaman-kecaman yang melampaui
batas syar’i.
Dakwah dengan perdebatan yang baik, yaitu metode dakwah dengan
menggunakan dialog yang baik, tanpa tekanan yang zalim terhadap pihak yang
didakwahi, tanpa menghina dan tanpa memburuk-burukkan mereka. Hal ini menjadi
penting karena tujuan dakwah adalah sampai atau diterimanya materi dakwah
tersebut dengan kesadaran yang penuh terhadap kebenaran yang haq dari objek
dakwah. Metode ini menghindari dari semata karena ingin memenangkan perdebatan
dengan para mad’u.
2. Benar dan tegas tanpa kompromi
Sesungguhnya dakwah Rasulullah merupakan dakwah yang tegas tanpa
kompromi. Perkara yang beliau saw sentuh dalam dakwahnya adalah perkara yang
paling pokok dan paling mendasar, laa ilaaha illallah, Muhammadur rasulullah.
Beliau saw menyeru bahwa tidak ada yang wajib diagungkan, diibadahi, ditaati
dan dicintai kecuali Allah Ta’ala. Begitu juga terhadap perkara hukum, tidak
ada hukum yang wajib diterapkan dan dilaksanakan, kecuali hukum-Nya. Oleh
karenanya perkara ini menjadi sangat penting dan oleh karena sifat
pembangkangan umat kafir serta muslim yang munafik, maka dakwah ini juga akan
menimbulkan kecaman, kemarahan, dan permusuhan.
Namun perkara yang tidak menyenangkan hati ini tidak menurunkan
semangat beliau saw untuk tetap berjuang menyampaikan yang haq. Dengan penuh
kesabaran dan sifat welas-asihnya, beliau saw beristiqomah membimbing umatnya
yang keliru kepada jalan yang lurus. Disamping itu, ketegasan pun beliau saw
tampakkan sehingga kebenaran yang hakiki tidak bercampur dengan kebatilan.
Beliau saw juga tidak melazimkan hal-hal diluar syari’at yang akan menimbulkan
‘kecintaan’ dari umat yang dengan itu beliau saw akan memperoleh dukungan yang
besar.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala
apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik.” [2]
Tujuan dakwah Rasulullah adalah mengembalikan sifat penghambaan
manusia kepada Rabb-nya semata dan menerapkan hukum yang berlaku di bumi kepada
Sang Pembuat hukum Yang sebenarnya, yaitu Allah azza wa jalla. Perkara ini
merupakan perkara yang amat berat yang akan menimbulkan ujian dan rintangan
berupa penderitaan dan kesakitan, baik jiwa dan fisik.
Melihat kenyataan ini, lalu beranikah kita menuduh Rasulullah
tidak mengenal metode dakwah? Ataukah kita menyatakan bahwa dakwah beliau saw
menyalahi taktik strategi bagi keamanan dan keselamatannya? Atau bagaimana pula
dengan anggapan bahwa dakwah semacam ini seperti membenturkan kepala ke tembok?
Yang patut selalu dipahami adalah bahwa Rasulullah adalah sosok
tauladan yang sempurna di segala aspek kehidupan, termasuk dalam metode dakwah.
Hal inilah yang patut dijadikan contoh oleh para du’at. Oleh sebab itu,
perkataan sebagian umat Islam dewasa ini bahwa situasi umat telah berubah,
dahulu umat baru sedikit jumlahnya, sedangkan kini umat Islam merupakan
mayoritas sehingga cara yang harus diambil adalah dengan bersaing bahkan dengan
bergabung dengan penguasa melalui parlemen. Dalilpun diangkat sebagai pemulus
hajat, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Rasulullah pernah
bersabda tentang para nabi keturunan bani Israil yang diutus sebagai para
pemimpin politik (siyasah).
Pertanyaan mengenai perkara ini adalah pernahkah Rasulullah dan
para sahabatnya duduk berdampingan dalam parlemen Daarun Nadwah, lalu
berbincang masalah kenegaraan dengan orang kafir dan musyrik? Adakah Rasulullah
dan para sahabatnya masuk ke dalam pemerintahan Abu Jahal dan konco-konconya
lalu membentuk partai Islam sebagai partai oposisi menentang pemerintahan yang
sedang berkuasa? Secara historis kita bisa mempelajari hal ini.
Dahulu, tatkala kaum musyrikin sudah tidak lagi berdaya
menghentikan dakwah Rasulullah melalui cara-cara kekerasan, penekanan, ancaman,
serta percobaan pembunuhan—mereka lalu menempuh cara berkompromi dengan
berbagai bentuk diplomasi agar Rasulullah bersikap lembut dan toleran kepada
mereka. Banyak para ahli diplomasi diutus kepada beliau saw untuk melunakkan
prinsip dan pendirian beliau saw. Allah Ta’ala lalu mewahyukan ayat berikut
kepada Rasulullah,
Artinya, “Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang
mendustakan (ayat-ayat Allah), maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap
lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).”[3]
Lalu ketika negosiasi telah gencar-gencarnya ditujukan kepada
Rasulullah oleh pihak musyrikin melalui tekanan fisik dan juga mental, dan
ketika Rasulullah hampir cenderung kepada konsep dan ajakan mereka, Allah
Ta’ala kembali mengingatkan,
Artinya, “Dan sesungguhnya mereka hampir-hampir
memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat
yang lain secara dusta terhadap Kami, dan kalau sudah demikian tentulah mereka
mengambil kamu sebagai sahabat setia. Dan sekiranya Kami tidak memperkuat kamu,
niscaya kamu condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian,
benar-benarlah Kami akan timpakan kepadamu (siksaan) berlipat-ganda di dunia, dan
(begitu pula berlipat-ganda) sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan
seorang penolongpun terhadap Kami.” [4]
Allah Ta’ala mengingatkan bahwa masalah tauhid dan syari’at tidak
bisa disamakan dengan masalah perdagangan yang diperbolehkan terjadinya tawar-menawar
guna menemukan titik-pertemuan yang sama-sama menyenangkan bagi kedua-belah
pihak. Masalah akidah merupakan masalah tersendiri yang tidak memerlukan
campuran-campuran baru dari makhluk. Akidah juga merupakan satu hakekat yang
mempunyai bagian-bagian yang terpadu yang tidak dapat ditinggalkan sedikitpun
oleh pejuang-pejuangnya. Jurang yang memisahkan antara kebenaran yang hakiki
dengan kebatilan adalah tidak mungkin dibuatkan perlintasan padanya. Ia
merupakan pertarungan yang mutlak dan tidak mungkin dicari perdamaian atasnya.
3. Tidak menambah dan mengurangi satu huruf pun dari
materi dakwah
Orang-orang kafir semasa Rasulullah senantiasa mencari jalan untuk
menyelewengkan Rasulullah dari sifat dan karakter dakwahnya yang benar dan
tegas. Mereka menginginkan agar Rasulullah mengikuti kehendak hawa-nafsu mereka
dengan mengemukakan segala janji dan tipu-muslihat agar beliau saw meninggalkan
prinsip dan bergeser dari jalan yang telah ditetapkan-Nya. Dalam al-Qur’an,
sifat keengganan mereka mengikuti al-Qur’an dan sikap mereka yang berupaya agar
Rasulullah mengganti petunjuk yang haq dengan yang mereka kehendaki yaitu pada
firman-Nya,
Artinya, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat
Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami
berkata, “Datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia.”
Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari sisiku sendiri. Aku tidak
mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika
mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” [5]
Inilah dalil Rabbani, memperingatkan nabi-Nya agar tidak
merekayasa sistem dakwah dan perjuangan mengikuti konsep orang kafir yaitu
memperjuangkan Islam melalui cara kompromi atau sistem demokrasi. Sekiranya
Rasulullah cenderung dan setuju untuk berkompromi sebagaimana yang ditawarkan
musyrikin Mekkah kala itu, yaitu sesekali mengikuti peribadahan mereka,
sehingga mereka pun akan bergantian mengikuti peribadahan Rasulullah, atau
dengan menyetujui usulan mereka dalam mencampur-adukkan antara sistem Rabbani
dengan sistem jahiliyah, niscaya Allah Ta’ala akan memvonis beliau saw sebagai
orang yang berdusta lagi berkhianat terhadap wahyu-Nya. Berikut firman-Nya,
Artinya, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintah itu)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.” [6]
Allah Ta’ala amat pengasih lagi penyayang kepada para nabi dan
rasul-Nya sehingga Dia membimbing dan senantiasa memperkuat hati para hamba
pilihan-Nya tersebut dari kecenderungan untuk berkompromi kepada jalannya
orang-orang yang sesat. Sejak hijrah ke Madinah hingga di akhir kehidupan
beliau saw, tidak ada waktu yang terlewatkan melainkan untuk berdakwah
menebarkan yang haq dan berjihad qital dalam rangka membela dien Islam dari
serangan kaum yang memusuhi dien-Nya. Tidak ditemui pada diri beliau saw,
meskipun dalam keadaan lemah, untuk bekerja-sama dengan kafir musyrik dalam
memperjuangkan dienullah.
4. Allah Ta’ala telah memperingatkan,
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil jadi teman kepercayaanmu, orang-orang yang diluar kalanganmu karena
mereka tak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai
apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian di mulut mereka dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh Kami telah menerangkan
ayat-ayat (Kami) jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka
padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab
semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, “Kami beriman.” Dan
apabila mereka menyendiri mereka menggigit ujung jari lantaran marah dan
bercampur benci kepadamu. Katakanlah, “Matilah kamu dengan kemarahanmu itu,
sesungguhnya Allah Maha memahami segala isi hati.” [7]
Apabila manusia sekarang ini dan juga yang akan datang tidak mau
memahami dan mengambil pelajaran dari perkara penting ini, maka saksikanlah apa
yang sudah dan yang akan terjadi akibat mendurhakai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Dan manakala umat Islam belum bersedia merubah sistem perjuangan parlementer
kepada sistem yang yang telah digariskan al-Qur’an, yaitu metode iman, hijrah,
i’dad, jihad, dan qital, maka yakinlah perjuangan itu tidak akan pernah sampai
kepada cita-cita yang dituju.
Pengalaman di Indonesia misalnya, di zaman rezim Soekarno berkuasa
pada pemilu tahun 1955, partai Islam Masyumi berhasil mengungguli perolehan
suara partai nasionalis. Oleh karena itu tokoh-tokohnya berhak menduduki
jabatan sebagai perdana menteri dan jabatan penting lainnya di pemerintahan,
seperti M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Dr. Soekiman, dan Burhanuddin
Harahap. Akan tetapi kejayaan itu tidak berlangsung lama dan sejarah menjadi
saksi bahwa bukan saja partai Masyumi dibubarkan oleh diktator Soekarno, bahkan
mereka ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili. Sementara harapan mereka untuk
membangun masyarakat Islam dengan berlakunya syari’at Islam, belum terwujud di
Indonesia, baik di kala mereka masih memerintah apatah lagi setelah mereka
dipenjarakan.
Di Mesir tahun 1945, Imam Hasan al-Bana tampil sebagai calon
tunggal melawan Dr. Sulaiman Ed di daerah Ismailiyah kawasan Terusan Suez. Menurut
prediksi politik, perolehan suara akan dimenangkan oleh Imam Hasan al-Bana,
Mursyidul ‘Am Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi setelah pengumuman hasil pemilu
ternyata kemenangan berada di pihak Dr. Sulaiman Ed. Tatkala jama’ah ikhwan
mengadakan protes terhadap pemalsuan kartu suara, tiba-tiba mobil-mobil tank
angkatan bersenjata milik Inggris keluar menerjang perhimpunan tersebut dengan
melepaskan tembakan-tembakan ke arah jama’ah Ikhwanul Muslimin.
Dua hal tersebut adalah sedikit contoh bentuk kehinaan yang
diterima umat Islam akibat meninggalkan sunnah, kecenderungan bekerja-sama
dengan cara-cara yang tidak diridhai-Nya, serta keengganan mempersiapkan
kekuatan fisik untuk berjihad secara qital melawan musuh yang memerangi
dien-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar