Perkembangan
Masyarakat Islam dan Karakteristiknya
Oleh:
Ariza Fahlaivi/AF 4
Dakwah
islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw merupakan babak terakhir dari
serangkaian panjang dakwah yang dikomandoi oleh rasul. Dakwah ini melintang
sepanjang sejarah manusia, bertujuan untuk satu hal, yakni mengenalkan kepada
manusia akan Tuhan mereka yang Maha Esa, Tuhan mereka yang Haq, dan menjadikan
mereka menghamba hanya kepada tuhan mereka dengan menafikan penghambaan kepada
makhluk.
Hanya
sedikit manusia dalam masa tertentu yang mengingkari prinsip ketuhanan dan
tidak mengakui eksistensi Allah, akan tetapi kebanyakan mereka yang mengakui,
keliru dalam pengetahuan mereka yang mengenai hakikat Tuhan yang Haq; bahkan
mereka juga menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang lain. Ada
kalanya, mereka menyekutukan-NYA dalam keyakinan dan peribadatan; ada kalanya,
dalam hal kedaulatan dan ketundukan.
Kedua
bentuk kesyirikan tersebut sama-sama mengeluarkan manusia dari agama Allah.
Mereka menyadari bahwa agama Allah ini dating dibawa oleh para rasul, akan
tetapi kemudian mereka mengingkarinya setelah melewati jeda waktu yang lama.
Mereka kembali lagi ke dalam kejahiliyahan, padahal agama Allah telah
mengeluarkan mereka darinya. Jadi, untuk kesekian kalinya, mereka kembali pada
perilaku syirik terhadap Allah, bisa jadi dalam keyakinan dan peribadatan, dalam
ketundukan dan kedaulatan, atau bahkan dalam semua itu.
Inilah
jalan yang pasti dilalui dakwah Kepada Allah sepanjang sejarah manusia. Dakwah
ini berusaha keras mewujudkan “islam” (ketundukan), yakni ketundukan manusia
kepada Tuhan manusia, dan membebaskan mereka dari penghambaan kepada Allah
semata. Ini dilakukan dengan cara membebaskan manusia dari kekuasaan manusia,
baik kedaulatan mereka, hokum-hukum mereka, nilai-nilai mereka, ataupun
tradisi-tradisi mereka. Semuanya harus dibebaskan menuju hanya satu kekuasaan,
satu kedaulatan, dan satu hokum, yaitu Allah dalam semua dimensi kehidupan.
Untuk inilah islam dibawa oleh Muhammad Saw sebagaimana para rasul sebelumnya. Islam
dating untuk mengembalikan manusia-juga alam semesta yang melingkupi manusia-kepada
kedaulatan Allah. Kekuasaan yang mengatur kehidupan mereka haruslah kekuasaan
yang mengatur eksistensi mereka. Jangan sampai manusia berpaling sedikit pun
kepada manhaj, kekuasaan, dan tatanan, selain manhaj, kekuasaan, dan tatanan
hakiki yang mengatur seluruh semesta, bahkan yang mengatur eksistensi mereka di
luar keasadaran mereka dalam kehidupan.
Manusia
harus berhukum dengan hokum-hukum alamiah-yang dibuat oleh Allah-dalam hal
tumbuh dan berkembangnya mereka, kondisi sehat ataupun sakit mereka, dan dengan
kehidupan ataupun kematian mereka. Begitu pula, manusia harus berhukum
dengannya dalam kehidupan social mereka dan dalam konsekuensi apa pun yang
menimpa mereka sebab kebebasan mereka menentukan pilihan.
Manusia tidak akan mampu mengubah
sunnatullah ( ketentuan Allah) dalam hokum alam yang mengatur dan mengendalikan
semesta. Oleh sebab itulah manusia harus kembali kepada islam dengan penuh
kesadaran dalam kehidupan mereka. Mereka harus menjadikan hokum-hukum Allah
sebagai hokum yang mengatur mereka dalam semua urusan hidup. Hukum-hukum inilah
yang harus mengatur dimensi kesadaran dan dimensi fitrah dari kehidupan
manusia, di samping juga mengatur seluruh eksistensi manusia dan eksistensi
semesta.
Sedangkan kejahiliyahan ini tidak
hanya mengejawantah dalam teori belaka-bahkan terkadang tanpa teori. Lebih dari
itu, ia mengejawantah dalam dalam bentuk komunitas harakah; juga dalam
masyarakat yang loyal terhadap tatanan sosialnya, dan loyal terhadap pelbagai
konsepsi, nilai, pemikiran, sensitivitas, adat-istiadat maupun tradisi mereka. Inilah
masyarakat organik di mana dalam relasi antarindividunya terjadi interaksi,
koordinasi, dan kerja sama secara organik. Inilah yang menstimulasi
masyarakat-baik secara sadar taupun tidak-untuk bereaksi menjaga eksistensinya
dalam bentuk intimidasi apa pun.
Oleh sebab kejahiliyan tidak hanya
tercermin dalam tataran teori belaka, akan tetapi tercermin dalam komunitas
haraki dalam pola seperti di atas, maka upaya untuk mengikis kejahiliyahan dan
mengembalikan manusia kepada Allah semata tidaklah cukup-bahkan tidaklah
berdaya guna-berupa teori semata. Karena, teori belaka tidak sebanding dengan
praktik-praktik jahiliyah yang ada, dan yang mengejawantah dalam masyarakat
orgnik dinamis.
Upaya tersebut haruslah lebih superior
di atas kejahiliyahan-sebagaimana yang kita inginkan. Semua itu dalam rangka
mewujudkan eksistensi lain yang secara fundamental berlawanan dengan
kejahiliyahan, dalam segi substansi dan manhaj, baik secara totalitas ataupun
parsialnya. Bahkan kerja keras yang rapi ini, mau tak mau, harus mengejawantah
dalam masyarakat organic yang dinamis yang lebih superior-dalam segi
dasar-dasarnya secara teoritis dan sistematik, serta dalam interelasi,
interkoneksi, dan networkingnya-dibandingkan dengan masyarakat jahiliyah.
Landasan teoritis yang mendasari
Islam sepanjang sejarah manusia adalah prinsip “syahadat la ilaha illallah” (
persaksian bahwa tiada sesembahan elain Allah). Maksudnya, mengesakan Allah Swt
baik dalam segi uluhiyah, rububiyah, kepemimpinan, kekuasaan, maupun
kedaulatan. Yakni, mengesakan-NYA dengan keyakinan di dalam sanubari, dengan
ketundukan dalam segenap kesadaran, dan dengan pelaksanaan syariatnya dalam
realitas kehidupan. Persaksian bahwa tiada sesembahan selain Allah, tidak
terimplementasi dalam praktik dan tidak di akui secara syar’i, kecuali dalam
ideology integral yang mampu memberinya spirit penting nan hakiki, yang menjadi
landasan bahwa pengucapnya bisa di katakana Muslim atau non-Muslim.
Penegasan landasan ini dari segi
teoritis mengandaikan kehidupan manusia secara keseluruhan kembali kepada
Allah. Bahwa manusia tidak pernah memutuskan perkara-dalam semua urusannya dan
dalam segala dimensi kehidupannya-menurut perspektif ego pribadinya, namun
mereka harus mengembalikan kepada hokum Allah, untuk diikutinya. Hukum Allah
ini wajib di pelajari dari satu sumber yang telah menyampaikannya, yaitu
Rasulullah Saw; ini tercermin dalam syahadat yang kedua, anna Muhammadan
rasulullah ( bahwa Muhmmad adalah Rasul Allah).
Inilah landasan teoritis yang
menjadi dasar dan pijakan Islam. Dari sinilah, kemudian lahir manhaj yang
sempurna bagi kehidupan ketika dipraktikan nyata dalam segala sendi kehidupan.
Seorang muslim harus menerapkannya dalam segala unsure kehidupan, baik pribadi
ataupun sosial, baik di dalam ataupun di luar Negara islam; dalam persinggungan
pribadinya dengan komunitas muslim, juga dalam persinggungan masyarakat Muslim
dengan komunitas-komunitas lainnya.
Akan tetapi, Islam-sebagaimana telah di
jelaskan-tidak hanya mampu menjelma dalam tataran teoretis belaka, yang dianut
oleh orang yan meyakininya dan dipraktikan dalam peribadatan, tetapi
pribadi-pribadi penganutnya tetap saja seperti keadaan sebelumnya di bawah
kungkungan eksistensi organic dari masyarakat jahili yang hegemonik. Keberadaan
mereka dalam kondisi seperti ini-walaupun jumlah mereka banyak-tidak akan
mengantarkn mereka pada eksistensi yang benar-benar di kehendaki Islam. Karena,
individu-individu umat Islam yang secaa teoritis masih termasuk dalam struktur
organk masyarakat jahiliyah, akan terdesak untuk merespons tuntutan-tuntutan
masyarakat organic yang jahili. Mereka-entah suka atau tidak, sadar atau
tidak-akan bereaksi memenuhi kepentingan primer yang mendesak bagi eksistensi
kehidupan masyarakat tersebut. Dan otomatis, mereka akan membela eksistensinya,
dan menghalau apapun yang mengancam eksistensi dan entitas masyarakat ini. Sebab,
semua anggota masyarakat organic harus melakukan tugas-tugas ini, suka ataupun
tidak. Maksudnya, individu-individu umat Islam secara teoritis benar-benar
telah memperkuat masyarakat jahiliyah, yang secara teoritis-seharusnya mereka
lenyapkan. Mereka laksana sel-sel tubuh yang dinamis
dalam eksistensi masyarakat jahiliyah; mereka membantunya untuk survive dan berkembang. Mereka mendedikasikan
-untuk masyarakat ini- segala kemampuan, pengalaman, dan kerja kerasnya agar
masyarakat ini tetap eksis dan kuat. Padahal, semestinya harakah mereka
berorientasi memberangus masyarakat jahiliyah ini untuk mewujudkan masyarakat
Islam.
Dari sinilah, landasan
teoritis Islam (yakni akidah), mau tak mau, sedari awal harus mengejawantah
dalam masyarakat organik yang dinamis. Ia harus mengembangkan masyarakat
organik lain yang dinamis di luar komunitas jahiliyah, yakni masyarakat
independen yang terpisah dari masyarakat organik jahiliyah, yang hendak
dimusnahkan Islam. Hendaknya, poros masyarakat baru adalah kepemimpinan baru
yang tercermin dalam kepemimpinan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam dan kepemimpinan Islam –setelah
beliau- yang bertujuan mengembalikan manusia kepada Allah yang Maha Esa, baik
dalam uluhiyyah, rububiyyah, kepemimpinan, kedaulatan,
kekuasaan, dan hukum-Nya.
Semua orang yang
bersaksi “bahwa tiada sesembahan selaain Allah” dan “bahwa Muhammad adalah
utusan Allah” harus melepaskan loyalitasnya dari masyarakat jahiliyah yang
meliputinya. Selain itu, ia harus melepaskan diri dari kepemimpinan jahiliyah
apa pun, baik yang berkenaan dengan agama –yakni dari para dukun, orang-orang
yang dijadikan perantara dengan Tuhan, ahli sihir, para peramal, dan lain
sebagainya- ataupun dengan kepemimpinan sosial, politik, dan ekonomi,
sebagaimana yang pernah terjadi di bawah hagemoni Quraisy. Setiap individu
muslim harus mendedikasikan loyalitasnya hanya kepada masyarakat muslim organik
yang baru, di bawah kepemimpinan Islami.
Individu muslim telah
memasuki Islam, dan ia telah mengucapkan syahadat (persaksian) an laa ilaaha illallaah wa anna
Muhammadan rasulullaah. Maka, tak ada jalan lain, pengejawantahan teori
harus diupayakan sejak dini, karena kehadiran masyarakat muslim tidak bisa
menjadi kenyataan kecuali dengan pengejawantahan teori. Masyarakat muslim tidak
akan terwujud hanya dengan menegakkan landasan teoritis di dalam hati setiap
individu, meski jumlah mereka sangat banyak. Dengan teori belaka, mereka tidak
bisa terwujud dalam masyarakat organik yang rapi dan kooperatif, yang memiliki
bentuk tersendiri.
Dalam masyarakat
organik, setiap anggotanya menjalankan tugas organisasi –seperti halnya
organ-organ tubuh organisme yang hidup- dalam rangka menancapkan, memperkokoh,
dan meluaskan eksistensinya, serta membela diri dari setiap upaya yang
mengancam eksistensi dan entitasnya. Masing-masing menunaikan tugas ini di
bawah tatanan yang independen dari tatanan masyarakat jahiliyah. Dengan begitu,
harakah mereka mampu mengatur dan menyeimbangkan kepemimpinan. Semuanya
diarahkan untuk menancapkan, memperkokoh, dan memperluas eksistensi Islam,
serta untuk menentang, melawan, dan melenyapkan eksistensi lain yang bernuansa
jahiliyah.
Demikianlah Islam seharusnya!
Beginilah, Islam tercermin dalam landasan teoritis yang global –namun
komprehensif- yang sekaligus menjadi pijakan masyarakat organik yang dinamis,
yang independen dan terpisah dari masyarakat jahiliyah, namun berhadapan
dengannya. Sama sekali Islam tidak ditampilkan hanya dalam bentuk teori yang
lepas dari realitas. Demikianlah,barangkali dapat terwujud Islam sekali lagi,
namun belum tentu ada kesempatan untuk membangunnya lagi di tengah-tengah
masyarakat jahiliyah di manapun, dan kapan pun, tanpa dibekali pemahaman yang
tepat terhadap karakter pertumbuhan organiknya yang dinamis.
Islam membangun umat
Islam berlandaskan prinsip yang sesuai dengan manhaj ini. Eksistensinya
mengokohkan fundamen masyarakat organik yang dinamis, dan menjadikan akidah
sebagai tali pengikat masyarakat ini. Islam bertujuan menampilkan “kemanusiaan
manusia”, mengokohkannya, dan menegakkannya dalam semua dimensi dari dunia
manusia. Dan Islam pernah mengaktualisasikan semua itu dengan manhajnya yang
meliputi segala kaidah, pembelajaran, aturan-aturan dan hukum-hukumnya.
“Entitas manusia sama
dengan entitas-entitas makhluk hidup lainnya, bahkan sama dengan entitas
benda-benda mati lainnya.” Inilah pandangan yang diragukan oleh para pengusung
“jahiliyah ilmiah”. Di satu sisi, manusia sama dengan makhluk hidup yang lain,
dan di sisi lain, manusia juga sama dengan benda-benda mati yang lain. Walaupun
manusia sama dengan makhluk hidup yang lain ataupun benda-benda mati yang lain
dalam “sifat-sifat tertentu”, akan tetapi manusia mempunyai ciri-ciri khusus
yang membedakannya dengan makhluk yang lain dan menjadikannya sebagai makhluk
yang istimewa. Inilah kenyataan yang terpaksa diakui oleh pengusung “jahiliyah
ilmiah”.[3]
Manhaj Islam akan menuai
hasil nyata yang luar biasa di dalam menegakkan masyarakat Islam yang berdiri
di atas akidah (bukan atas dasar kesukuan, tanah air, warna kulit, bahasa, dan
kepentingan yang bersifat keduniaan yang terbatas pada sekat-sekat teritorial
yang sempit), serta menonjolkan, mengembangkan, dan meninggikan karakteristik
manusia di luar ciri-cirinya yang sama dengan makhluk hidup lain dalam
komunitasnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka (open society) untuk semua suku,
bangsa, dan warna kulit, tanpa terkendala oleh sekat-sekat fisik yang sempit.
Dalam masyarakat Islam
tercakup semua ciri dan potensi manusia. Semua perbedaan yang bersifat
kemanusiaan disatukan, dan terbentuklah struktur organik yang melampaui
relativitas yang terbatas. Dari komunitas yang hebat, koordinatif, dan
integratif ini, terciptalah peradaban yang agung yang meliputi semua potensi
manusia yang hidup dalam zaman yang sama, walaupun dengan jarak yang jauh dan
lambatnya sarana komunikasi pada zaman tersebut.
Di dalam masyarakat
Islam yang unggul, terintegrasi orang-orang Arab, Persia, Suriah, Mesir,
Maroko, Turki, China, India, Romawi, Yunani, Indonesia, dan Afrika, serta
bangsa-bangsa dan suku-suku lainnya. Semua kekhasan mereka terintegrasi untuk
membangun koordinasi dan kerja sama demi terwujudnya masyarakat dan peradaban
Islam. Peradaban yang besar ini bukanlah peradaban “Arab”, akan tetapi
“Islami”; juga bukan peradaban yang didasarkan pada paham kebangsaan, akan
tetapi paham akidah.
Mereka semua bersatu
dengan mengedepankan persamaan, dan atas dasar cinta dan kesadaran menghadap
satu Pencipta. Segala potensi, kekhasan identitas, pengalaman pribadi,
kebangsaan dan sejarah, semuanya dicurahkan demi membangun masyarakat Islam.
Inilah masyarakat yang satu padu yang selalu mengedepankan persamaan. Di sini,
mereka disatukan oleh ikatan yang berhubungan dengan Tuhan yang Esa, dan
kemanusiaan mereka pun dikembangkan tanpa adanya rintangan. Masyarakat seperti
ini tidak ada yang menandinginya sepanjang sejarah.
Masyarakat kuno yang
terkenal di dunia, misalnya adalah imperium Romawi. Di dalam masyarakat ini,
terintegrasi bermacam-macam suku, bahasa, dan warna kulit. Sayangnya, mereka
bersatu atas dasar “ikatan kemanusiaan” yang belum mempresentasikan nilai
tertinggi: akidah. Dalam imperium Romawi, masih terdapat kelas-kelas
sosial-ekonomi yaitu masyarakat borjuis (kaum bangsawan) dan masyarakat
proletar (kaum budak). Suku Romawi, secara umum, adalah kelas borjuis yang menghagemoni
suku-suku lain melalui perbudakan. Oleh sebab itulah, mereka tidak akan bisa
mengungguli masyarakat Islam dan tidak akan mendapatkan hasil seperti yang
dicapai oleh masyarakat Islam.
Demikian juga dalam
sejarah modern terdapat masyarakat lain, misalnya imperium Inggris. Imperium
ini sama seperti imperium Romawi, sebab imperium ini adalah pewarisnya.
Imperium ini adalah imperium kebangsaan yang imperialis. Bangsa Inggris telah
menjajah dan mengeksploitasi bangsa-bangsa lain. Imperium-imperium lain di
Eropa (seperti imperium Spanyol, Portugis, dan Perancis) juga sama. Semua
imperium ini ada pada level yang rendah.
Sedangkan masyarakat
komunis menginginkan bentuk masyarakat lain yang mampu menampung perbedaan
kesukuan, kebangsaan, tanah air, bahasa, dan warna kulit. Masyarakat ini tidak
berdasarkan pada dasar “kemanusiaan” yang umum, akan tetapi berdasarkan atas
prinsip “kelas”. Masyarakat ini adalah wajah lain dari masyarakat Romawi Kuno.
Masyarakat ini berlandaskan atas adanya kelas proletar dan kelas borjuis. Kelas
proletar adalah kelas kaum lemah yang selalu dihinggapi rasa dendam kepada
kelas-kelas yang lain. Paham seperti ini hanya akan melahirkan masyarakat kecil
yang selalu marah dan hanya akan menghasilkan dampak yang negatif bagi
eksistensi manusia. Masyarakat komunis mengunggulkan sifat-sifat manusia
sebagai sifat satu-satunya untuk ditumbuhkembangkan. Dasar asumsinya adalah
kebutuhan mendasar manusia adalah makanan, tempat tinggal, dan seks. Menurut
mereka, inilah kebutuhan utama manusia, dan sejarah manusia adalah sejarah
memburu makanan.
Sementara itu, Islam
–dengan manhaj Rabbaninya- mencoba mengedepankan potensi khusus manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan masyarakat Islam. Sampai sekarang, manhaj Islam
mempunyai kekhasan tersendiri. Manhaj-manhaj lain mendasarkan diri pada asas
kebangsaan (nation), kewarganegaraan
(citizen), tanah air (country), ataupun kelas (class),
yang kesemuanya hanya membawa permusuhan sesama manusia. Mereka yang tidak
menerapkan manhaj Islam adalah mereka yang tidak ingin manusia mengembangkan
diri dengan potensi khususnya yang luhur seperti yang difithrahkan oleh Allah
di dunia ini. Mereka juga tidak ingin masyarakat memberdayakan kemampuan dan
pengalaman mereka untuk bersatu dan bekerja sama. Merekalah orang-orang yang
difirmankan oleh Allah:
”Katakanlah
(Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling
rugi perbuatannya?’ (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah
orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap
pertemuan dengan-Nya. Maka, sia-sialah amal mereka; dan Kami tidak memberikan
penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat. Demikianlah, balasan mereka
itu Neraka Jahanam, karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan
ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan olok-olok.” (QS. Al-Kahfi [18] : 103-106)
Maha Benar Allah dengan
segala firman-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar