Sabtu, 13 April 2013

DAKWAH: Strategi Menyiarkan Peradaban Islam


DAKWAH:
Strategi Menyiarkan Peradaban Islam
Oleh: Moh. Eko Hadi Kuncoro
Mahasiswa ISID Fakultas Ushuluddin Prodi Aqidah Filsafat 4


Islam adalah sebuah agama (din) dan sekaligus sebuah peradaban (Tamaddun) menyimpan konsep Ilahi yang disampaikan kepada Manusia. “Din” sendiri mempunyai padanan kata “dain” yang berarti hutang. Dalam proses hutang menghutang terdapat konsep, tata cara, peraturan, susunan kekuasaan. Artinya dalam kata “din” itu sendiri memuat suatu sistem konsep tentang kehidupan. Konsep-konsep inilah sebenarnya merupakan tuntunan Ilahi untuk manusia, untuk kebahagiaanya dan mengatur kehidupanya. Agar konsep-konsep ini membumi, maka diperluakan seorang utusan Tuhan yang menerangkan konsep-konsep tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Rasulullah Saw. Penyampaian ini dilakukan dengan jalan dakwah dan tabligh. Jadi, intinya konsep-konsep kehidupan yang termuat dalam “Din” sekaligus’ “tamaddun” agar dapat diketahui dan diamalkan masyarakat membutuhkan seorang penyampai, yaitu Da`i.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang dakwah dalam konteks peradaban secara Luas, definisi term dakwah dan sangat urgen untuk dijelaskan. Dakwah dalam tradisi keilmuan Islam dapat diartikan sebagai suatu kegiatan dalam bentuk lisan, tulisan dan tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara individual maupun kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajaran islam sebagai Messege yang disampaikan kepadany atanpa unsur paksaan (M. Arifin: 1993:6). Definisi ini memberikan pengertian bahwa, dakwah bukan hanya’ ceramah’ agama yang dilakukan oleh seorang Ustadz di masjid-masjid atau mushola sebagaimana yang difahami oleh masyarakat awam, tetapi seluruh aktifitas manusia itu adalah dakwah
Dakwah merupakan sarana untuk mengajak sesorang untuk mengikuti jalan kebenaran. Dalam penyampaian ini membutuhkan konsep bagaimana menyampaikan argument (Hujjah) dan penjelasan (bayyinah) tentang kebenaran yang akan disampaikan. Hujjah dapat artikan sebagai  penguatan terhadap prinsip-prinsip keimanan yang akan disampiakan kepada objek, ia juga dapat diartikan meruntuhkan argument-argument yang salah (al-Razy, 2000: 111). Agar pesan kebenaran dapat ditangkap oleh objek maka perlu mengenal beberapa metode dakwah yang telah terkonsepsikan dalam al-Qur`an.
Al-Hikmah
Kata al-hikmah terulang sebanyak 20 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah juga dapat diartikan “al-Ilah”, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma hikmah dzalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Hujjatul islam Imam al-Ghazaly  menyatakan bahwa hikmah adalah salah satu bagian dari aspek-aspek akhlaq mulia, dimana akhlaq meluai menurutnya adalah terdiri dari sikap keberanian, kejujuran dan keadilan.  Fahruddin Ar-Razy (w.604) ketika menafsirakan Al-Nahl: 125 menyatakan bahwa hikmah adalah argument yang meyakinkan, yang berfungsi untuk menguatkan pondasi-pondasi dasar agama (Al-hujjah Al-Qathiyyah al-mufidah lil `aqa`id al-yaqiniyyah). Adapun kata al-Hikmah dalam Al-Nahl: 125   menurut al-Maraghi (w. 1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan.
Jadi untuk menggunakan metode hikmah diperlukan harus terlebih dahulu mengetahui konsep kebenaran dalam Islam. Kebenaran ini dapat diketahui berdasarkan ilmu pengetahuan. Seorang da`i yang kurang berilmu atau masih dangkal ilmunya, tentunya tidak bisa menggunakan metode ini karena ia sendiri belum tahu tentang hakikat yang ia sampaikan.  Setelah mengtahui hakikat kebenaran yang qothiyy, kebenaran itu bukan hanya ada dalam tataran konsep, tetapi juga ada dalam tataran praktis dan terealisasi dalam kehidupanya. Itulah sebabnya Imam al-Ghazali menyatkan bahwa al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun) dalam sisi aqidah, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak mulia.
 Seorang da`i meyampaiakn ide-ide Islam dalama tataran konsep. Oleh sebab itu, metode ini sangat cocok digunakan bagi objek para ilmuwan dan cendikyawan. Karena mereka sangat membutuhkan argument logis, bukti-bukti, dalil-dalil meyakinkan, dan aksi dalam kehidupan.
al-Maw’idzah al-Hasanah
Kata Maw’idhah disebut 9 kali  dalam al-Qur’an. Maw’idhah dari kata “wa`adza”, kata ini berarti menasehati dan mengingatkan atas akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat. Kemudain kata ini disifati dengan Kata al-hasanah lawan dari al-sayyi’ah, maka dapat dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa keburukan. Nasehat dikatakan buruk dapat disebabkan karena isinya memang buruk, di samping itu, ia juga dipandang buruk manakala disampaikan oleh orang yang tidak dapat diteladani. Dengan demikain yang dimaksud nasehat dalam kata ini adalah kebalikan nasehat sayyia`h, yaitu nasehat hasanah berupa nasehat  yang memiliki ciri khusus yaitu mengandung kebenaran muthlaq (al-haq), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq serta mengandung nilai-nilai kebaikan yang universal. Selain juga deorang da`i juga mengamalkanya sehingga bisa diteladani.
Metode dakwah al-maw’idzah al-hasanah merupakan cara berdakwah yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan obyek dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya. Sehingga nasehat tersebut masuk ke dalam kalbu dengan penuh kelembutan; tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan.
            Dengan demikian, metode ini tidak membutuhkan argument-argumken yang tidak terlalu rumit sebagaimana metode pertama, metode ini cocok untuk ummat menengah ke bawah, mereka membutuhkan kata-kata yang simple, kisah-kisah teladan dan sentuhan Qalbu.
Metode al-Mujàdalah
Al-Mujàdalah merupakan derivasi kata “jadala”, yang bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadal disebutkan 29 kali al-Qur’an, dengan berbagai shigah. Dari kata-kata ini, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek, yaitu: membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau ahli kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah dalam berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu. Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik) menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk,  ada yang baik, terbaik dan yang buruk.
Bentuk dakwah seperti ini sangat cocok bagi objek yang kurang menginginkan kebenaran, yang suka memutar bailikkan fakta dan kebenaran, cocok bagi  kaum sofhis, skeptis dan relatifis seperti orang-orang liberal dan orientalis. Bentuk jidal, dapat dilakukan dengan cara Radd dan Itsbat, Radd disampaikan untuk mencari kelemahan-kelemahan argument lawan, kerancuan pemahaman, dan kontadiksi kesimpulanya, baru kemudian dikuatkan dengan argument yang benar beserta bukti-bukti kebenaran yang tidak terbantahkan yang terdapat dalam konsep-konsep islam. Dalam catatan sejarah, dakwah seperti ini telah banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh islam, seperti Imam Asyari, al-Baqillani, al-Ghazali, al-Razy dan lainya.
Kesimpulan
            Dari paran di atas dapat disimpulkan bahwa, Islam sebagai “din” dan “tamaddun” yang menyimpan beberapa konsep tentang kehidupan yang harus disyiarkan. Agar syiar konsep-konsep ini menuai hasil maka diperluakan jalan dakwah. Dalam dakwah juga sangat memerluakan metode. Metode yang digunakan sangatlah ditentukan oleh objek yang akan didakwai’madl`u’. Objek dari kalangan cendikyawan perlu menggunakan metode hikmah, kalangan awam dan menengah dengan mauidzah hasanah, dan kalangan sophis, relatifis dan skeptis terhadap Islam perlu dengan metode mujadalah.  Sayyidian Ali mengatakan, ”al-Haqqu Bi La Nidham, Yaghlibuhul Bathil Bin Nidzam: Kebenaran yang tidak terencana, dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terencana”.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template