DAKWAH:
Strategi
Menyiarkan Peradaban Islam
Oleh:
Moh. Eko Hadi Kuncoro
Mahasiswa
ISID Fakultas Ushuluddin Prodi Aqidah Filsafat 4
Islam adalah sebuah agama (din) dan sekaligus sebuah
peradaban (Tamaddun) menyimpan konsep Ilahi yang disampaikan kepada
Manusia. “Din” sendiri mempunyai padanan kata “dain” yang berarti
hutang. Dalam proses hutang menghutang terdapat konsep, tata cara, peraturan,
susunan kekuasaan. Artinya dalam kata “din” itu sendiri memuat suatu
sistem konsep tentang kehidupan. Konsep-konsep inilah sebenarnya merupakan
tuntunan Ilahi untuk manusia, untuk kebahagiaanya dan mengatur kehidupanya.
Agar konsep-konsep ini membumi, maka diperluakan seorang utusan Tuhan yang
menerangkan konsep-konsep tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Rasulullah
Saw. Penyampaian ini dilakukan dengan jalan dakwah dan tabligh. Jadi, intinya
konsep-konsep kehidupan yang termuat dalam “Din” sekaligus’ “tamaddun”
agar dapat diketahui dan diamalkan masyarakat membutuhkan seorang penyampai,
yaitu Da`i.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang dakwah dalam konteks
peradaban secara Luas, definisi term dakwah dan sangat urgen untuk dijelaskan.
Dakwah dalam tradisi keilmuan Islam dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
dalam bentuk lisan, tulisan dan tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan
secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara
individual maupun kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,
kesadaran sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajaran islam sebagai Messege
yang disampaikan kepadany atanpa unsur paksaan (M. Arifin: 1993:6). Definisi
ini memberikan pengertian bahwa, dakwah bukan hanya’ ceramah’ agama yang
dilakukan oleh seorang Ustadz di masjid-masjid atau mushola sebagaimana yang
difahami oleh masyarakat awam, tetapi seluruh aktifitas manusia itu adalah
dakwah
Dakwah merupakan sarana untuk mengajak sesorang untuk
mengikuti jalan kebenaran. Dalam penyampaian ini membutuhkan konsep bagaimana
menyampaikan argument (Hujjah) dan penjelasan (bayyinah) tentang
kebenaran yang akan disampaikan. Hujjah dapat artikan sebagai penguatan terhadap prinsip-prinsip keimanan
yang akan disampiakan kepada objek, ia juga dapat diartikan meruntuhkan
argument-argument yang salah (al-Razy, 2000: 111). Agar pesan kebenaran dapat
ditangkap oleh objek maka perlu mengenal beberapa metode dakwah yang telah
terkonsepsikan dalam al-Qur`an.
Al-Hikmah
Kata al-hikmah terulang sebanyak
20 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan,
bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu, pengetahuan, filsafat, kenabian,
keadilan, pepatah dan juga berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah juga dapat diartikan
“al-Ilah”, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma
hikmah dzalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat
isinya.
Hujjatul islam
Imam al-Ghazaly menyatakan bahwa hikmah
adalah salah satu bagian dari aspek-aspek akhlaq mulia, dimana akhlaq meluai
menurutnya adalah terdiri dari sikap keberanian, kejujuran dan keadilan. Fahruddin Ar-Razy (w.604) ketika menafsirakan
Al-Nahl: 125 menyatakan bahwa hikmah adalah argument yang meyakinkan, yang
berfungsi untuk menguatkan pondasi-pondasi dasar agama (Al-hujjah
Al-Qathiyyah al-mufidah lil `aqa`id al-yaqiniyyah). Adapun kata al-Hikmah
dalam Al-Nahl: 125 menurut al-Maraghi (w. 1945), berarti
perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran
dan menghilangkan keraguan.
Jadi untuk menggunakan metode hikmah
diperlukan harus terlebih dahulu mengetahui konsep kebenaran dalam Islam.
Kebenaran ini dapat diketahui berdasarkan ilmu pengetahuan. Seorang da`i yang kurang
berilmu atau masih dangkal ilmunya, tentunya tidak bisa menggunakan metode ini
karena ia sendiri belum tahu tentang hakikat yang ia sampaikan. Setelah mengtahui hakikat kebenaran yang qothiyy,
kebenaran itu bukan hanya ada dalam tataran konsep, tetapi juga ada dalam
tataran praktis dan terealisasi dalam kehidupanya. Itulah sebabnya Imam
al-Ghazali menyatkan bahwa al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki
kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun)
dalam sisi aqidah, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka
akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak
mulia.
Seorang
da`i meyampaiakn ide-ide Islam dalama tataran konsep. Oleh sebab itu, metode
ini sangat cocok digunakan bagi objek para ilmuwan dan cendikyawan. Karena mereka
sangat membutuhkan argument logis, bukti-bukti, dalil-dalil meyakinkan, dan
aksi dalam kehidupan.
al-Maw’idzah al-Hasanah
Kata Maw’idhah disebut 9 kali dalam al-Qur’an. Maw’idhah dari
kata “wa`adza”, kata ini berarti menasehati dan mengingatkan atas akibat
suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat. Kemudain kata ini
disifati dengan Kata al-hasanah lawan dari al-sayyi’ah, maka
dapat dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga
berupa keburukan. Nasehat dikatakan buruk dapat disebabkan karena isinya memang
buruk, di samping itu, ia juga dipandang buruk manakala disampaikan oleh orang
yang tidak dapat diteladani. Dengan demikain yang dimaksud nasehat dalam kata
ini adalah kebalikan nasehat sayyia`h, yaitu nasehat hasanah
berupa nasehat yang memiliki ciri khusus
yaitu mengandung kebenaran muthlaq (al-haq), dan keterpaduan antara
akidah dan akhlaq serta mengandung nilai-nilai kebaikan yang universal. Selain
juga deorang da`i juga mengamalkanya sehingga bisa diteladani.
Metode dakwah al-maw’idzah al-hasanah
merupakan cara berdakwah yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan
tidak menjerakan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia
adalah suatu metode yang mengesankan obyek dakwah bahwa peranan juru dakwah
adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan yang mencari segala hal yang
bermanfaat baginya dan membahagiakannya. Sehingga nasehat tersebut masuk ke
dalam kalbu dengan penuh kelembutan; tidak berupa larangan terhadap sesuatu
yang tidak harus dilarang; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan.
Dengan demikian, metode ini tidak
membutuhkan argument-argumken yang tidak terlalu rumit sebagaimana metode
pertama, metode ini cocok untuk ummat menengah ke bawah, mereka membutuhkan
kata-kata yang simple, kisah-kisah teladan dan sentuhan Qalbu.
Metode al-Mujàdalah
Al-Mujàdalah merupakan derivasi kata “jadala”, yang bermakna
diskusi atau perdebatan. Kata jadal disebutkan 29 kali al-Qur’an, dengan
berbagai shigah. Dari kata-kata ini, yang menunjuk kepada arti diskusi
mempunyai tiga obyek, yaitu: membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran,
(2) mempunyai ilmu atau ahli kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari
berbagai macam obyek dakwah dalam berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan
pada obyek yang mempunyai ilmu. Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan
pemikiran yang tinggi dan wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an
menyuruh manusia dengan istilah ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal
disampaikan dengan ahsan (yang terbaik) menandakan jidal mempunyai tiga macam
bentuk, ada yang baik, terbaik dan yang
buruk.
Bentuk dakwah seperti ini sangat cocok bagi objek yang
kurang menginginkan kebenaran, yang suka memutar bailikkan fakta dan kebenaran,
cocok bagi kaum sofhis, skeptis dan
relatifis seperti orang-orang liberal dan orientalis. Bentuk jidal, dapat dilakukan
dengan cara Radd dan Itsbat, Radd disampaikan untuk mencari
kelemahan-kelemahan argument lawan, kerancuan pemahaman, dan kontadiksi
kesimpulanya, baru kemudian dikuatkan dengan argument yang benar beserta
bukti-bukti kebenaran yang tidak terbantahkan yang terdapat dalam konsep-konsep
islam. Dalam catatan sejarah, dakwah seperti ini telah banyak dilakukan oleh
tokoh-tokoh islam, seperti Imam Asyari, al-Baqillani, al-Ghazali, al-Razy dan
lainya.
Kesimpulan
Dari paran di atas dapat disimpulkan
bahwa, Islam sebagai “din” dan “tamaddun” yang menyimpan beberapa konsep
tentang kehidupan yang harus disyiarkan. Agar syiar konsep-konsep ini menuai
hasil maka diperluakan jalan dakwah. Dalam dakwah juga sangat memerluakan metode.
Metode yang digunakan sangatlah ditentukan oleh objek yang akan didakwai’madl`u’.
Objek dari kalangan cendikyawan perlu menggunakan metode hikmah, kalangan
awam dan menengah dengan mauidzah hasanah, dan kalangan sophis, relatifis dan
skeptis terhadap Islam perlu dengan metode mujadalah. Sayyidian Ali mengatakan, ”al-Haqqu Bi La
Nidham, Yaghlibuhul Bathil Bin Nidzam: Kebenaran yang tidak terencana,
dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terencana”.
0 komentar:
Posting Komentar