Siapakah Ahlussunnah
Waljamaah…?
Oleh: Abdul Mun’im
Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin Program Studi Aqidah Fislafat 4
A. Pendahuluan
Ahlussunnah
Waljamâ’ah adalah istilah yang paling populer di dunia Islam, sekaligus
amunisi paling mematikan untuk memberantas golongan lain yang menuyimpang. Para
ulama sepakat bahwa Ahlussunnah Waljamâ’ah adalah ajaran yang diwariskan
Rasulullâh SAW kepada umatnya. Hanya saja Rasulullâh tidak menyebutkan nama
dari suatu golongan tertentu yang termasuk Ahlussunnah Waljamâ’ah.
Rasulullâh hanya menyebutkan indikasi dari golongan umatnya yang disinyalir
sebagai golongan Ahlussunnah Waljamâ’ah dengan sebutan golongan yang
selamat dari siksa Neraka.
Sejarah
menceritakan pertentangan demi pertentangaan yang terjadi antara kaum muslimin
yang terjadi sejak dahulu hingga saat ini. Mereka saling mengklaim dirinya
sebagai pewaris dari ajaran Rasulullâh. Dalam konflik yang terjadi, vonis kafir
dan sesat tak jarang terlontar dari masing-masing kelompok. Dan tidak jarang
pula pertentangan pemikiran yang pada akhirnya berlanjut menjadi perselisihan
fisik dan pertumpahan darah.
Tidak mudah
mendefinisikan istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah secara konkret. Karena
memang Rasulullâh tidak menunjuk golongan tertentu. Untuk mendapatkan pemahaman
yang konprehensif menhenai istilah ini, kita harus mengkajinya dari berbagai
aspek, mulai dari Arti, sejarah dan perkembangan aliran tersebut.
B. Arti
Secara
etimologis istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah terbentuk dari tiga kata; ahlu,
as-Sunnah dan al-Jamaah. Pertama, kata ahlu
mempunyai makna keluarga, pengikut dan golongan.[1] Kedua
kata as-Sunnah secara kebahasaan mempunyai arti atthorîqoh
(jalan atau perilaku), baik jalan itu benar ataupun keliru, diridhoi ataupun
tidak. Sedangkan as-Sunnah secara terminologis mempunyai arti jalan yang
ditempuh oleh Rasulullâh SAW dan para sahabat-sahabatnya yang selamat dari
kesesatan dan hawa nafsu.[2]
As-Sunnah
menurut Imam Assyathibi ialah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi SAW secara
khusus dan tidak terdapat dalam al-Qur’an, tapi dinyatakan oleh Nabi SAW.
Dengan demikian, posisi sunnah merupakan penjelasan al-Qur’an. Sunnah
dengan pengertian ini, merupakan lawan dari bid’ah. Seseorang dikatakan Ahlussunnah
kalau dia beramal dan berkeyakinan sebagaimana yang diajarkan Nabi SAW.
Sebaliknya, seseorang disebut ahli bid’ah jika keyakinan atau amalnya
bertentangan dengan ajaran Rasulullâh.
Selain kata sunnah
disebutkan sebagai sesuatu yang dinukil dari Nabi, menurut Assyatihibi kata sunnah
juga digunakan untuk menyebut apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi baik
yang ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi atau tidak. Sebab apa yang
mereka lakukan kemungkinan besar berdasarkan sunnah Nabi, atau berdasarkan
ijtihad yang disepakati oleh mereka, karena kesepakatan di antara mereka
merupakan ijmâ’.[3]
Sedangkan kata ke
tiga adalah al-Jamâ’ah. Kata ini secara etimologis mempunyai arti
orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektivitas dalam mencapai suatu
tujuan. Al-Jamâ’ah adalah lawan dari kata firqoh, yaitu
orang-orang yang bercerai berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan
secara terminologis, kata al-Jamâ’ah adalah mayoritas umat Islam.
Kata al-Jamâ’ah
beberapa kali disabdakan oleh Rasulullâh dalam Hadis yang menyatakan bahwa umat
Islam kelak akan terpecah menjadi 73 golongan yaitu;
افترقت اليهود على احدى وسبعين فرقة فواحدة في الجنة
وسبعون في النار وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فرقة فاحدى وسبعون في النار
وواحدة في الجنة والذي نفس محمد بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة واحدة في
الجنة وثنتان وسبعون في النار، قيل يارسول الله من هم قال الجماعة . (سنن ابن ماجه
: 11/493).
افترقت اليهود على احدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى
على ثنتين وسبعين فرقة، والذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة واحدة
في الجنة واثنتان وسبعون في النار، قيل يارسول الله، ومن هي؟ قال الجماعة. (المعجم
الكبير للطبراني : 12/441).
Sedangkan dalam riwayat
Attirmidzi, Hadis ini tidak menggunakan redaksi al-Jamâ’ah
tapi menggunakan redaksi ما
انا عليه واصحابي :
ليأتين على امتي ما اتى على بني
اسرائيل حذو النعل بالنعل حتى ان كان منهم من اتى امه علانية لكان في امتي من يصنع
ذلك وان بني اسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتي على ثالاث وسبعين ملة
كلهم في النار الا ملة واحدة، قالوا ومن هي يارسول الله؟ قال ما انا عليه واصحابي.
(سنن الترمذي : 9/235).
Kata
al-Jamâ’ah pada Hadis yang pertama jika dipadukan dengan Hadis kedua
yang menggunakan mâ ana ‘alaihi wa ashhâbî, maka akan membuahkan
pengertian bahwa al-Jamâ’ah adalah golongan yang mengikuti Rasulullâh
dan para sahabatnya. Akan tetapi memahami pengetian al-Jamâ’ah tidaklah
sesederhana itu. Menurut Assyathibi untuk memehami pengertian al-Jamâ’ah
harus mengakomodir banyak Hadis yang di dalamnya juga menyebutkan kata al-Jamâ’ah,
seperti di antaranya:
حدثنا ابو النعمان حدثنا حماد
بن زيد عن الجعد أبي عثمان حدثني أبو رجاء العطاردي قال سمعت ابن عباس رضي الله
عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه
فانه من فارق الجماعة شبرا فمات الا مات ميتة جاهلية. (صحيح البخاري : 21/443).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh
Hasan bin Al-Rabi’ dari Hammad bin Zaid, dari Al-Ja’d Abi Utsman, dari Abi
Raja’, dari Ibnu Abbas.[4]
C. Sejarah
Belum ditemukan riwayat shahîh
yang secara sharîh menyatakan bahwa Rasulullâh SAW pernah menggunakan
kata Ahlussunnah Waljamâ’ah. Sebagaimana dalam Hadis;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : افترقت اليهود على
احدى وسبعين فرقة وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة وان امتي ستفترق على ثلاث
وسبعين فرقة ، الناجية منها واحدة والباقون هلكى . قيل ومن الناجية قال اهل السنة
والجماعة . قيل وما السنة والجماعة قال ما انا عليه اليوم واصحابي .
Hadis ini disebutkan oleh al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam al-Qoul al-Musaddad,[5] Imam as-Syahrostani dalam al-Milal
wa Annihal,[6] juga Imam al-Ghozali dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn,[7] akan tetapi, dalam kitab-kitab
tersebut, Hadis ini tidak desebutkan bersama sanadnya, sehingga sulit
menentukan sejauh mana kapasitas Hadis tersebut untuk bisa dijadikan sebagai
pijakan.
Sementara itu,
ada banyak Hadis bersanad yang mirip dengan Hadis tersebut, namun hanya
menyebutkan kata al-Jamâ’ah, bukan Ahlussunnah Waljamâ’ah. Sebagaimana
dalaam kitab Sunan Ibnu Majah (11/493), Sunan Abi Daud (12/196), dan Musnad
Ahmad (25/68).
Karena tidak ditemukan riwayat yang
shahih secara langsung menyebutkan istilah Ahlussunnah Wahjamâ’ah, maka
banyak kalangan yang menilai istilah tersebut muncul setelah masa Rasulullâh. Sebagai bukti,
ada asumsi dari Ibnu Abbas ketika mentafsiri ayat:
يوم تبيض وجوه وتسود وجوه فاما
الذين اسودت وجوههم أكفرتم بعد ايمانكم فذوقوا العذاب بما كنتم تكفرون، واما الذين
ابيضت وجوههم ففي رحمة الله هم فيها خالدون.
Ketika
mentafsiri ayat di atas, Ibnu Abbas menegaskan “Adapun orang yang putih
wajahnya adalah Ahlussunnah Waljamâ’ah”.[8]
Ada
sejarawan mengatakan bahwa istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah baru digunakan
pada abad ke tiga Hijriah. Abad
ke tiga Hijriah adalah priode pasca Tabi’in atau priode Imam-imam mujtahid.
Pada abad ini, pemikiran bidah sudah menjalar ke mana-mana, terutama paham
bidah dari golongan Mu’tazilah. Al-Ma’mun adalah kholifah pertama yang menganut
paham Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai akidah resmi Negara. Dia memaksa
rakyatnya untuk mengikuti paham Mu’tazilah.
D. Golongan
Mengenai
siapakah yang termasuk dari Alussunnah Waljamâ’ah, ulama masih berbeda
pendapat. Syekh Muhammad az-Zabidi, dalam kitabnya yang berjudul Ithâfussâdah
al-Muttaqîn mengatakan bahwa Alussunnah Waljamâ’ah meliputi empat
golongan, yaitu golongan ahli Hadis, golongan sufi, golongan pengikut Imam
Al-Asy’ari, dan pengikut Imam Al-Maturidzi.[9]
Sedangkan Thahir
bin Muhammad al-Isfirayani menisbatkan Alussunnah Waljamâ’ah kepada
Ashabul Hadis, Ahlurra’yi, dan golongan Ahli Fiqh yang berbeda-beda dalam
cabgan-cabang hukum syari’ah namun tidak sampai terjadi saling mengkafirkan dan
tidak terkungkung oleh fanatisme. Golongan inilah yang sempat disinggung oleh
Rasulullâh dalam Hadisnya, “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat”.[10]
Senada dengan
pendapat al-Isfirayani Abdul Qohir al-Baghdadi menyebut Alussunnah Waljamâ’ah
sebagai golongan Ahlurra’yi dan Ahlul Hadis. Adapun yang dimaksud Ahlurra’yi
dan Ahlul Hadis oleh Al-Baghdadi yaitu para ahli Fiqh, ahli Qirâ’ah,
ahli Hadis dan para Mutakallimîn. Mereka sepakat atas
akidah-akidah pokok tentang Keesahan Tuhan, Keadilan Tuhan, Sifat-sifat-Nya,
kenabian dan kepemimpinan, serta keadaan setelah kematian, mulai dari hari pembalasan
hingga keadaan Surga dan Neraka.
Adapun perbedaan
yang terjadi di antara mereka bukan pada ranah perinsip, melainkan hanya
berkisar pada masalah furû’iyah, seperti hukum halal dan haranya sesuatu
yang tidak terdapat penjelasan langsung di dalam Nasshussyar’î. Namun
perbedaan tersebut tidak sampai terjadi saling mengkafirkan satu sama lain.[11]
Ad-Dahlawi
menyatakan bahwa Alussunnah Waljamâ’ah adalah orang-orang yang berpegang
teguh kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul serta mengikuti para sahabat dan tabi’in,
baik dalam akidah maupun amaliah, meskipun mereka juga berbeda dalam masalah ijtihadiyah.
Namun sekali lagi, mereka tidak terjebak dalam saling mengkafikan.[12]
Ibnu Taimiyah
mengartikan Alussunnah Waljamaah sebagai mayoritas golongan umat Islam.
Menurutnya, barangsiapa yang bebicara dengan berlandaskan al-Qur’an, sunnah,
dan ijma’, maka merekalah termasuk golongan Alussunnah Waljamâ’ah.[13]
Berikutnya
al-Jurjani menisbatkan Alussunnah Waljamâ’ah kepada holongan Ahlul
Haqq atau golongan yang selalu menyandarkan dirinya kepada kebenaran
menurut Allah SWT dengan dalil-dalil yang jelas.[14]
Sedangkan Ahlul Haqq menurut Imam Ibnu Hajar al-‘Asqolani adalah
golongan ahli ilmu. Maksudnya adalah para mujtahid yang menjadi panutan umat
dalam urusan agama.[15]
E. Penutup
Sampai saat ini, masih sulit menemukan titik terang
tentang siapa sebenarnya penyandang predikat Ahlussunnah Waljama’ah.
Mungkin hal ini dapat ditemukan dengan mengikuti perjalanan historis golongan
ini sejak masa Rasulullâh sampai saat ini.
Namun dengan demikian terdapat kesimpulan bahwa golongan Ahlussunnah
Waljama’ah adalah golongan yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an,
as-Sunnaah dan Ijma’ para mujtahid. Hanya saja terdapat perbedaan dalam
menyematkan predikat Alussunnah Waljama’ah. Ada yang
menyebutkan golongan al-Asy’ariyah dan al-Maturidziyah, ada pula yang
menyematkannya pada ahli Hadis dan ra’yi yang sepakat dalam pokok-pokok akidah
dan tidak saling mengkafirkan serta menyesatkan ketika terjadi perbedaan dalam
permasalahan-permasalahan ijtihâdiy.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Jaib, Sa’di, 1988, al-Qomus al-Fiqhi Lughotan wa Ishthilahan,
(Damaskus: Dar al-Fikr).
Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah, 1997, Hujjatul
Balighoh, Juz I, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah).
Al-‘Asqolany,
Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar, Fathul
Bary, Juz XIII, (Beirut: Darul Ma’rifat).
Al-Asfirayani, Thahir bin Muhammad, At-Tabshirah fi Ad-Din, Juz I,
(Beirut: Alim Al-Kutub).
al-Baghdadi, Abdul Qohir, Al-Farq Baina Al-Firaq, Cet.
III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah).
Al-Ghozali, 2003, Ihya’ Ulumiddin, Juz
III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
al-Hanbali,
Ibnu Rajab, Kasy al-Kurbah fi Washfil Ghurbah, (Kairo: Maktabah
al-Qoyyimah).
Al-Jurjany, Ali Ibn Muhammad, Atta’rifat,
(Beirut: Darul Kutub).
As-Senory,
Abu Fadhl Ibn ‘Abdissyakur, Syahr
al-Kawakib al-Lammâ’ah, (Surabaya: Al-Hidayah).
Asy-Syahrostani, Abu Al-Fath Muhammad Ibn Abdi Al-Karim, 2007, Almilal
wa Annihal, Jilid II, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah).
Ibarahim
ibn Musa Assyathibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqot, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah).
Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawi Ibnu Taimiyah, Juz I, (Maktabah
Assyamilah: Al-Ishdar Ats-Tsany).
Ibu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Juz I,(Darussalam).
Mahfudz,
Masduqi, Konsep
Dasar Pengertian Ahlussunnah Waljamaah, (Surabaya: Pelita
Dunia).
[11] Abdul Qohir
al-Baghdadi, Al-Farq Baina Al-Firaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
T.Th), Cet. III, p. 19.
0 komentar:
Posting Komentar