Sabtu, 13 April 2013

Siapakah Ahlussunnah Waljamaah…?


Siapakah Ahlussunnah Waljamaah…?
Oleh: Abdul Mun’im
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah Fislafat 4

A.    Pendahuluan
            Ahlussunnah Waljamâ’ah adalah istilah yang paling populer di dunia Islam, sekaligus amunisi paling mematikan untuk memberantas golongan lain yang menuyimpang. Para ulama sepakat bahwa Ahlussunnah Waljamâ’ah adalah ajaran yang diwariskan Rasulullâh SAW kepada umatnya. Hanya saja Rasulullâh tidak menyebutkan nama dari suatu golongan tertentu yang termasuk Ahlussunnah Waljamâ’ah. Rasulullâh hanya menyebutkan indikasi dari golongan umatnya yang disinyalir sebagai golongan Ahlussunnah Waljamâ’ah dengan sebutan golongan yang selamat dari siksa Neraka.
            Sejarah menceritakan pertentangan demi pertentangaan yang terjadi antara kaum muslimin yang terjadi sejak dahulu hingga saat ini. Mereka saling mengklaim dirinya sebagai pewaris dari ajaran Rasulullâh. Dalam konflik yang terjadi, vonis kafir dan sesat tak jarang terlontar dari masing-masing kelompok. Dan tidak jarang pula pertentangan pemikiran yang pada akhirnya berlanjut menjadi perselisihan fisik dan pertumpahan darah.
            Tidak mudah mendefinisikan istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah secara konkret. Karena memang Rasulullâh tidak menunjuk golongan tertentu. Untuk mendapatkan pemahaman yang konprehensif menhenai istilah ini, kita harus mengkajinya dari berbagai aspek, mulai dari Arti, sejarah dan perkembangan aliran tersebut.


B.     Arti
           Secara etimologis istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah terbentuk dari tiga kata; ahlu, as-Sunnah dan al-Jamaah. Pertama, kata ahlu mempunyai makna keluarga, pengikut dan golongan.[1] Kedua kata as-Sunnah secara kebahasaan mempunyai arti atthorîqoh (jalan atau perilaku), baik jalan itu benar ataupun keliru, diridhoi ataupun tidak. Sedangkan as-Sunnah secara terminologis mempunyai arti jalan yang ditempuh oleh Rasulullâh SAW dan para sahabat-sahabatnya yang selamat dari kesesatan dan hawa nafsu.[2]
           As-Sunnah menurut Imam Assyathibi ialah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi SAW secara khusus dan tidak terdapat dalam al-Qur’an, tapi dinyatakan oleh Nabi SAW. Dengan demikian, posisi ­sunnah merupakan penjelasan al-Qur’an. Sunnah dengan pengertian ini, merupakan lawan dari bid’ah. Seseorang dikatakan Ahlussunnah kalau dia beramal dan berkeyakinan sebagaimana yang diajarkan Nabi SAW. Sebaliknya, seseorang disebut ahli bid’ah jika keyakinan atau amalnya bertentangan dengan ajaran Rasulullâh.
            Selain kata sunnah disebutkan sebagai sesuatu yang dinukil dari Nabi, menurut Assyatihibi kata sunnah juga digunakan untuk menyebut apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi baik yang ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi atau tidak. Sebab apa yang mereka lakukan kemungkinan besar berdasarkan sunnah Nabi, atau berdasarkan ijtihad yang disepakati oleh mereka, karena kesepakatan di antara mereka merupakan ijmâ’.[3]
            Sedangkan kata ke tiga adalah al-Jamâ’ah. Kata ini secara etimologis mempunyai arti orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektivitas dalam mencapai suatu tujuan. ­Al-Jamâ’ah adalah lawan dari kata firqoh, yaitu orang-orang yang bercerai berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-Jamâ’ah adalah mayoritas umat Islam.
            Kata al-Jamâ’ah beberapa kali disabdakan oleh Rasulullâh dalam Hadis yang menyatakan bahwa umat Islam kelak akan terpecah menjadi 73 golongan yaitu;
افترقت اليهود على احدى وسبعين فرقة فواحدة في الجنة وسبعون في النار وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فرقة فاحدى وسبعون في النار وواحدة في الجنة والذي نفس محمد بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة واحدة في الجنة وثنتان وسبعون في النار، قيل يارسول الله من هم قال الجماعة . (سنن ابن ماجه : 11/493).
افترقت اليهود على احدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فرقة، والذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة واحدة في الجنة واثنتان وسبعون في النار، قيل يارسول الله، ومن هي؟ قال الجماعة. (المعجم الكبير للطبراني : 12/441).
            Sedangkan dalam riwayat Attirmidzi, Hadis ini tidak menggunakan redaksi al-Jamâ’ah tapi menggunakan redaksi ما انا عليه واصحابي :
ليأتين على امتي ما اتى على بني اسرائيل حذو النعل بالنعل حتى ان كان منهم من اتى امه علانية لكان في امتي من يصنع ذلك وان بني اسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتي على ثالاث وسبعين ملة كلهم في النار الا ملة واحدة، قالوا ومن هي يارسول الله؟ قال ما انا عليه واصحابي. (سنن الترمذي : 9/235).
            Kata al-Jamâ’ah pada Hadis yang pertama jika dipadukan dengan Hadis kedua yang menggunakan mâ ana ‘alaihi wa ashhâbî, maka akan membuahkan pengertian bahwa al-Jamâ’ah adalah golongan yang mengikuti Rasulullâh dan para sahabatnya. Akan tetapi memahami pengetian al-Jamâ’ah tidaklah sesederhana itu. Menurut Assyathibi untuk memehami pengertian al-Jamâ’ah harus mengakomodir banyak Hadis yang di dalamnya juga menyebutkan kata al-Jamâ’ah, seperti di antaranya:
حدثنا ابو النعمان حدثنا حماد بن زيد عن الجعد أبي عثمان حدثني أبو رجاء العطاردي قال سمعت ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فانه من فارق الجماعة شبرا فمات الا مات ميتة جاهلية. (صحيح البخاري : 21/443).
            Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Hasan bin Al-Rabi’ dari Hammad bin Zaid, dari Al-Ja’d Abi Utsman, dari Abi Raja’, dari Ibnu Abbas.[4]

C.    Sejarah
           Belum ditemukan riwayat shahîh yang secara sharîh menyatakan bahwa Rasulullâh SAW pernah menggunakan kata Ahlussunnah Waljamâ’ah. Sebagaimana dalam Hadis;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : افترقت اليهود على احدى وسبعين فرقة وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة وان امتي ستفترق على ثلاث وسبعين فرقة ، الناجية منها واحدة والباقون هلكى . قيل ومن الناجية قال اهل السنة والجماعة . قيل وما السنة والجماعة قال ما انا عليه اليوم واصحابي .
            Hadis ini disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Qoul al-Musaddad,[5] Imam as-Syahrostani dalam al-Milal wa Annihal,[6] juga Imam al-Ghozali dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn,[7] akan tetapi, dalam kitab-kitab tersebut, Hadis ini tidak desebutkan bersama sanadnya, sehingga sulit menentukan sejauh mana kapasitas Hadis tersebut untuk bisa dijadikan sebagai pijakan.
            Sementara itu, ada banyak Hadis bersanad yang mirip dengan Hadis tersebut, namun hanya menyebutkan kata al-Jamâ’ah, bukan Ahlussunnah Waljamâ’ah. Sebagaimana dalaam kitab Sunan Ibnu Majah (11/493), Sunan Abi Daud (12/196), dan Musnad Ahmad (25/68).
            Karena tidak ditemukan riwayat yang shahih secara langsung menyebutkan istilah Ahlussunnah Wahjamâ’ah, maka banyak kalangan yang menilai istilah tersebut muncul setelah masa Rasulullâh. Sebagai bukti, ada asumsi dari Ibnu Abbas ketika mentafsiri ayat:
يوم تبيض وجوه وتسود وجوه فاما الذين اسودت وجوههم أكفرتم بعد ايمانكم فذوقوا العذاب بما كنتم تكفرون، واما الذين ابيضت وجوههم ففي رحمة الله هم فيها خالدون.
            Ketika mentafsiri ayat di atas, Ibnu Abbas menegaskan “Adapun orang yang putih wajahnya adalah Ahlussunnah Waljamâ’ah”.[8]
            Ada sejarawan mengatakan bahwa istilah Ahlussunnah Waljamâ’ah baru digunakan pada abad ke tiga Hijriah. Abad ke tiga Hijriah adalah priode pasca Tabi’in atau priode Imam-imam mujtahid. Pada abad ini, pemikiran bidah sudah menjalar ke mana-mana, terutama paham bidah dari golongan Mu’tazilah. Al-Ma’mun adalah kholifah pertama yang menganut paham Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai akidah resmi Negara. Dia memaksa rakyatnya untuk mengikuti paham Mu’tazilah.

D.    Golongan
           Mengenai siapakah yang termasuk dari Alussunnah Waljamâ’ah, ulama masih berbeda pendapat. Syekh Muhammad az-Zabidi, dalam kitabnya yang berjudul Ithâfussâdah al-Muttaqîn mengatakan bahwa Alussunnah Waljamâ’ah meliputi empat golongan, yaitu golongan ahli Hadis, golongan sufi, golongan pengikut Imam Al-Asy’ari, dan pengikut Imam Al-Maturidzi.[9]
            Sedangkan Thahir bin Muhammad al-Isfirayani menisbatkan Alussunnah Waljamâ’ah kepada Ashabul Hadis, Ahlurra’yi, dan golongan Ahli Fiqh yang berbeda-beda dalam cabgan-cabang hukum syari’ah namun tidak sampai terjadi saling mengkafirkan dan tidak terkungkung oleh fanatisme. Golongan inilah yang sempat disinggung oleh Rasulullâh dalam Hadisnya, “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat”.[10]
            Senada dengan pendapat al-Isfirayani Abdul Qohir al-Baghdadi menyebut Alussunnah Waljamâ’ah sebagai golongan Ahlurra’yi dan Ahlul Hadis. Adapun yang dimaksud Ahlurra’yi dan Ahlul Hadis oleh Al-Baghdadi yaitu para ahli Fiqh, ahli Qirâ’ah, ahli Hadis dan para Mutakallimîn. Mereka sepakat atas akidah-akidah pokok tentang Keesahan Tuhan, Keadilan Tuhan, Sifat-sifat-Nya, kenabian dan kepemimpinan, serta keadaan setelah kematian, mulai dari hari pembalasan hingga keadaan Surga dan Neraka.
            Adapun perbedaan yang terjadi di antara mereka bukan pada ranah perinsip, melainkan hanya berkisar pada masalah furû’iyah, seperti hukum halal dan haranya sesuatu yang tidak terdapat penjelasan langsung di dalam Nasshussyar’î. Namun perbedaan tersebut tidak sampai terjadi saling mengkafirkan satu sama lain.[11]
            Ad-Dahlawi menyatakan bahwa Alussunnah Waljamâ’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul serta mengikuti para sahabat dan tabi’in, baik dalam akidah maupun amaliah, meskipun mereka juga berbeda dalam masalah ijtihadiyah. Namun sekali lagi, mereka tidak terjebak dalam saling mengkafikan.[12]
            Ibnu Taimiyah mengartikan Alussunnah Waljamaah sebagai mayoritas golongan umat Islam. Menurutnya, barangsiapa yang bebicara dengan berlandaskan al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, maka merekalah termasuk golongan Alussunnah Waljamâ’ah.[13]
            Berikutnya al-Jurjani menisbatkan Alussunnah Waljamâ’ah kepada holongan Ahlul Haqq atau golongan yang selalu menyandarkan dirinya kepada kebenaran menurut Allah SWT dengan dalil-dalil yang jelas.[14] Sedangkan Ahlul Haqq menurut Imam Ibnu Hajar al-‘Asqolani adalah golongan ahli ilmu. Maksudnya adalah para mujtahid yang menjadi panutan umat dalam urusan agama.[15]


E.     Penutup
            Sampai saat ini, masih sulit menemukan titik terang tentang siapa sebenarnya penyandang predikat Ahlussunnah Waljama’ah. Mungkin hal ini dapat ditemukan dengan mengikuti perjalanan historis golongan ini sejak masa Rasulullâh sampai saat ini.
            Namun dengan demikian terdapat kesimpulan bahwa golongan Ahlussunnah Waljama’ah adalah golongan yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an, as-Sunnaah dan Ijma’ para mujtahid. Hanya saja terdapat perbedaan dalam menyematkan predikat Alussunnah Waljama’ah. Ada yang menyebutkan golongan al-Asy’ariyah dan al-Maturidziyah, ada pula yang menyematkannya pada ahli Hadis dan ra’yi yang sepakat dalam pokok-pokok akidah dan tidak saling mengkafirkan serta menyesatkan ketika terjadi perbedaan dalam permasalahan-permasalahan ijtihâdiy.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Jaib, Sa’di, 1988, al-Qomus al-Fiqhi Lughotan wa Ishthilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr).
Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah, 1997, Hujjatul Balighoh, Juz I, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah).
Al-‘Asqolany, Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar, Fathul Bary, Juz XIII, (Beirut: Darul Ma’rifat).
Al-Asfirayani, Thahir bin Muhammad, At-Tabshirah fi Ad-Din, Juz I, (Beirut: Alim Al-Kutub).
al-Baghdadi, Abdul Qohir, Al-Farq Baina Al-Firaq, Cet. III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah).
Al-Ghozali, 2003, Ihya’ Ulumiddin, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
al-Hanbali, Ibnu Rajab, Kasy al-Kurbah fi Washfil Ghurbah, (Kairo: Maktabah al-Qoyyimah).
Al-Jurjany, Ali Ibn Muhammad, Atta’rifat, (Beirut: Darul Kutub).
As-Senory, Abu Fadhl Ibn ‘Abdissyakur, Syahr al-Kawakib al-Lammâ’ah, (Surabaya: Al-Hidayah).
Asy-Syahrostani, Abu Al-Fath Muhammad Ibn Abdi Al-Karim, 2007, Almilal wa Annihal, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
Ibarahim ibn Musa Assyathibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqot, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawi Ibnu Taimiyah, Juz I, (Maktabah Assyamilah: Al-Ishdar Ats-Tsany).
Ibu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Juz I,(Darussalam).
Mahfudz, Masduqi, Konsep Dasar Pengertian Ahlussunnah Waljamaah, (Surabaya:  Pelita Dunia).



                [1] Sa’di abu Jaib, al-Qomus al-Fiqhi Lughotan wa Ishthilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), p. 29.
                [2] Ibnu Rajab al-Hanbali, Kasy al-Kurbah fi Washfil Ghurbah, (Kairo: Maktabah al-Qoyyimah, T.Th), p.19-20.
                [3] Abu Ishaq Ibarahim ibn Musa Assyathibi, al-Muwafaqot, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, T.Th), p.723.
                [4] Lihat: Shohih Muslim, 90/390.
                [5] Masduqi Mahfudz, Konsep Dasar Pengertian Ahlussunnah Waljamaah, (Surabaya:      Pelita Dunia, T.Th), p.9.
                [6] Abu Al-Fath Muhammad Ibn Abdi Al-Karim Asy-Syahrostani, Almilal wa Annihal, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), p.5.
                [7] Al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), p. 205.
                [8] Lihat: Tafsir Ibn Katsir, Juz I, Cet: Darussalam, p. 419.
                [9] Abu Fadhl Ibn ‘Abdissyakur as-Senory, Syahr al-Kawakib al-Lammâ’ah, (Surabaya: Al-Hidayah, T.Th), p. 45.
                [10] Thahir bin Muhammad al-Asfirayani, At-Tabshirah fi Ad-Din, Juz I, (Beirut: Alim Al-Kutub, T.Th), p. 25.
[11] Abdul Qohir al-Baghdadi, Al-Farq Baina Al-Firaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, T.Th), Cet. III, p. 19.
                [12] Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, Hujjatul Balighoh, Juz I, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1997), p. 385.
                [13] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawi Ibnu Taimiyah, Juz I, p. 238, (Maktabah Assyamilah: Al-Ishdar Ats-Tsany).
                [14] Ali Ibn Muhammad Al-Jurjany, Atta’rifat, (Beirut: Darul Kutub, T.Th), p. 40.
                [15] Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar Al-‘Asqolany, Fathul Bary, Juz XIII, (Beirut: Darul Ma’rifat, T.Th), p. 317.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template