Rabu, 17 April 2013

Efektivitas Dakwah: Perspektif Psikologi Komunikasi

Efektivitas Dakwah: Perspektif Psikologi Komunikasi

Oleh: Abdul Mun’im, (32.2.2.9874)
Mahasiswa Program Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Institut Studi Islam Darussalam Gontor, Ponorogo

A. Pendahuluan
Komunikasi dan dakwah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan atau satu sama lain saling terkait.  Keduanya merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namun dalam praktik serta aplikasinya selalu terpadu antara satu dengan lainnya serta saling menunjang[1].
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak pesan dakwah tidak sampai kepada sasaran, karena dai (komunikator) tidak mampu berkomunikasi secera efektif. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan menuangkan pesannya dalam bahasa yang baik dan benar. Seolah-olah dakwah yang disajikan kering, gersang dan hambar. Bahasanya tidak bergaya, mad’u (komunikan) tidak memahami apa yang disampaikannya, minat dan interest mad’u hilang dan komunikasi tidak terjalin.
Komunikasi efektif mempunyai nuansa dan varian sesuai dengan kepentingan dan tujuannya. Walaupun pada prinsipnya tujuannya sama, yakni bagaiman pesan komunikasi yang disampaikan dapat diserap, dihayati, dan direspon oleh komunikan secara positif[2].
Karena itu, komunikasi sebagai sarana vital sangat menunjang bagi terlaksananya dakwah. Sehingga pemahaman dai tentang ilmu tersebut akan memberikan arti penting bagi suksesnya dakwah. Yakni terlaksananya ajaran Islam dengan tegaknya amar makruf dan nahi munkar.


B. Prinsip Komunikasi dalam Dakwah
F. Richard Webstern (1991) mengartikan komunikasi adalah suatu transmisi atau pertukaran informasi, pesan atau data melalui berbagai media, seperti berbicara (komunikasi verbal), tulisan (komunikasi tertulis), telepon, telegrap, radio atau saluran-saluran lain dalam sebuah kelompok atau diarahkan pada individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu[3].
Dalam konteks komunikasi, kemampuan untuk dapat menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan perilaku merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi tercapainya tujuan komunikasi yaitu efektif dan efisien (berdaya guna). Oleh karena itu, komunikasi dikatakan efektif apabila dalam suatu kegiatan berkomunikasi (pesan) yang disampaikan dapat diterima sebagaimana yang dimaksudkan oleh si pengirim pesan (komunikator) tersebut.
Komunikasi yang efektif bukan hanya sekedar menyusun kata atau mengeluarkan bunyi yang berupa kata-kata, tetapi menyankut bagaimana agar orang lain tertarik perhatiannya, mau mendengar, mengerti dan melakukan sesuai dengan pesan yang disampaikan[4].
Sebagaimana halnya dakwah bertujuan untuk menyampaikan (tabligh) materi kepada mad’u (komunikan), tidak lain dimaksudkan untuk mengajak dan mengundang mereka kepada nilai-nilai dan akhlak mulia. Karena itu dakwah merupakan salah satu bentuk komunikasi interpersonal, artinya dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok dan atau massa. Sedangkan isi dakwah yang disampaikan bertujuan untuk mempengaruhi pendapat dan pola pikir yang didakwahi (umat) sehingga terjadi perubahan persepsi dan selanjutnya tingkah laku umat menjadi kebiasaan melakat.
Persoalan komunikasi yang menjadi perhatian dalam hubungan antar manusia terutama dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah adalah bagaimana komunikasi yang dilakukan dapat berlangsung secara efektif (berguna) terhadap mad’u[5]. Hal itu dapat berarti bahwa dalam urusan bisnis, mencari teman, mempengaruhi orang lain agar mau melakukan apa kita inginkan, menetapkan keputusan, jatuh cinta dan berbagai hubungan pribadi dan professional senantisa berhubungan dengan komunikasi.
Dalam penjabarannya, prinsip-prinsip komunikasi dalam dakwah itu, dapat dikemukakan sebagai berikut[6]:
a)      Menumbuhkan Motivasi Masyarakat
Dalam menyampaikan dakwah secara efektif hendaknya minat mad’u (komunikan) dibangkitkan. Bila mad’u tidak berminat, maka apa yang kita sampaikan hampir tidak ada gunanya. Cara-cara yang dapat ditempuh di antaranya sebagai berikut:
Pertama; Menggunakan dorongan kebutuhan manusia, dengan cara mengutarakan pentingnya atau manfaatnya terhadap apa yang kita sampaikan, terutama bagi masyarakat. Kedua; Dapat juga kita menyinggung harga diri masyarakat dan menokohkannya. Ketiga; Menggunakan dorongan ingin tahu. Teknik ini berdasarkan bahwa pada dasarnya setiap manusia yang sehat selalu mampunyai dorongan ingin tahu baik mengenai dirinya maupun hal-hal yang berada di luar dirinya.
Motivasi (pendorong) merupakan penggerak utama di dalam suatu pekerajaan (aktivitas). Karena itu besar kacilnya gairah untuk mengerjakan suatu pekerjaan tergantung kepada besar kecilnya motivasi terhadap pekerjaan tersebut. Sudah jelas aktivitas dakwah yang dikerjakan dengan gairah yang besar, besar pula kemungkinan akan berhasilnya.
b)      Menarik Perhatian Masyarakat
Penyampaian dakwah akan berhasil bila dapat menarik perhatian mad’u. Hal ini jelas, sebab tidak mungkin seorang dapat menangkap apa yang disampaikan bila perhatiannya tertuju kepada masalah-masalah lain. Perhatian artinya pemusatan pikiran pada suatu masalah atau objek. Agar mad’u mau memperhatikan, adapun hal-hal yang dapat menarik perhatian mad’u adalah sebagai berikut: ha-hal yang aneh artinya jarang terjadi, hal-hal yang lucu, hal-hal yang meyolok (dominan), hal-hal yang sesuai dengan kebutuhan dan hal- hal yang sekonyong-konyong terjadi[7].
c)      Mengutamakan Kegunaan Materi Dakwah
Jelasnya bahwa pokok persoalan bagi seorang dai adalah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi golongan dalam suatu keadaan dan suasana tertentu. Untuk itu ia harus menguasai isi dakwah yang hendak disampaikan, serta intisari dan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya, harus dapat melalui apa corak orang atau golongan yang dihadapi, harus bisa merasakan keadaan dan suasana, ruang dan waktu, dimana ia menyampaikan dakwah, harus bisa pula memilih cara dan kata yang tepat, setelah memahamkan semua itu.
Hal-hal yang dirasa ada gunya akan tetap tinggal dalam ingatan seseorang. Karena itu mad’u akan selalu menyaring mana uraian-uraian yang dianggap pada gunanya. Uraian yang dianggap ada gunanya akan diusahakan, diingat-ingat atau diserapkan, sedangkan uraian yang tidak ada gunanya atau kurang bermanfaat akan segera hilang dari ingatan.
d)     Menyampaikan Dengan Gaya Bahasa yang Indah dan Lembut
Penyampaian dakwah akan mudah ditangkap oleh mad’u bila diuraikan sedemikian rupa. Materi-materi dakwah yang disajikan oleh dai melalui Al- Qur’an dibuktikan manusia melalui penalaran akalnya yang dianjurkan Al-Qur’an untuk dilakukan manusia pada saat ia mengemukakan materi dakwah tersebut[8].
e)      Menjelaskan Pengertian Materi Dakwah
Pada dasarnya materi dakwah menurut Asmuni Syukir (1983:60) tergantung pada tujuan dakwah yang hendak dicapai. Namun secara global dapat dikatakan bahwa materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu: keimanan (aqidah), keislaman (syariah) dan budi pekerti (al-akhlaq al-karimah).
Hal-hal yang dimengerti mudah dihafalkan atau mudah tertanam dalam pikiran seseorang. Karena itu, materi dakwah hendaknya disampaiakan secara singkat, jelas dan padat. Hal-hal yang berkenaan dengan itu diantarnya adalah : tema-tema yang disampaikan harus disajikan dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Gagasan yang sama diulang-ulang berkali-kakli dengan cara penyajian yang mungkin beraneka ragam dan penggunaan emosi secara intensif.
f)       Mengulang-Ulangi Kalimat yang Dianggap Perlu
Penekanan itu dapat dilakukan dengan mengulang-ulangi maksud kalimat yang hendak ditekankan. Yang diulang adalah maksud kalimat, memakai beberapa macam bentuk kalimat atau perkataan dengan maksud yang sama. Tidak boleh mengulangi kalimat kata demi kata, karena yang demikian itu akan membosankan dan pengulangan itupun hendaknya dilakukan bila dianggap perlu[9].
Demikian uraian komunikasi efektif dalam dakwah, dan bilamana dakwah dilaksanakan dengan cara bijaksana dan baik menurut petunjuk Al Qur’an dan hadis Rasulullah SAW dengan prinsip-prinsip komunikasi, maka akan tercapai apa yang kita harapkan, yakni sampainya pesan dakwah kepada mad’u (komunikan) yang berdampak pada tertanamnya nilai dan terlaksananya akhlak mulia.

C. Hubungan Komunikasi dan Dakwah
Sebagian orang, kalangan awam ataupun profesional, yang menganggap dakwah sebagai bagian dari bentuk aktivitas komunikasi, akan memandang efektivitas proses dakwah dalam bingkai efektivitas komunikasi. Salah satu ciri penting komunikasi efektif adalah adanya efek siginifikan pada diri komunikan. Dalam perspektif perubahan individu ataupun kelompok, efek itu bisa terjadi pada wilayah kognitif, afektif, maupun psikomotorik[10]. Wilayah-wilayah perubahan itu pula yang dapat dijadikan ukuran tinggi rendahnya efektivitas dalam proses dakwah.
Pendekatan psikologi komunikasi melihat aktivitas dakwah sebagai proses membangkitkan motivasi untuk melakukan suatu tindakan yang dinilai benar menurut ajaran. Dalam kerangka komunikasi, motivasi sendiri merupakan kekuatan internal yang akan menentukan efektif tidaknya suatu proses. Karena itu, jika aktivitas dakwah menargetkan terjadinya perubahan, baik individu maupun kelompok, penggunaan berbagai saluran, termasuk pemilihan bahasa dan logika yang digunakan, pemanfaatan media cetak maupun elektronik, serta beragam media sosial lainnya, dimaksudkan untuk mempermudah proses perubahan tersebut. Proses dakwah sendiri pada dasarnya merupakan proses komunikasi sosial yang dilakukan untuk melakukan perubahan[11].
Menurut Tubbs dan Moss 1974, secara psikologis, efektivitas komunikasi paling tidak ditandai oleh timbulnya lima hal pada diri komunikan: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan.
Komunikasi dilakukan bukan hanya dalam menyampaikan suatu pesan. Komunikasi juga sering dilakukan justru untuk menumbuhkan gairah dan kesenangan, sekaligus mendorong untuk melakukan suatu tindakan[12]. Banyak pertanyaan dilontarkan seorang dai, tapi bukan untuk memperoloh jawaban atau informasi dari para jamaah. Komunikasi itu dilakukan hanya untuk menumbugkan gairah dan kesenangan para jamaah. Sebab melalui komunikasi inilah akan timbul hubungan dai dan mad’u yang semakin hangat, komunikatif, dan menyenangkan.
Kesenangan dalam komunikasi akan menjadi jembatan persuasi. Salah satu tujuan komunikasi persuasif adalah memengaruhi sikap. Seorang khatib selalu memengaruhi sikap jamaah dengan mengemukakan hal-hal yang menyenangakan. Seorang guru juga memengaruhi sikan murid-muridnya dengan menjanajikan reward yang menggairahkan. Pertanyaanya kemudian, dapatkah upaya memengaruhi ini dilakukan melalui komunikasi yang tidak mampu menyentuh rasa bahasa pendengarnya? Mungkin, di sinilah artipenting ungkapan Rasulullah SAW “agar menggunakan bahasa kaumnya”.
Selain itu komunikasi dilakukan untuk membangun hubungan sosial yang baik di antara orang-orang yang sedang terlibat dalam aktivitas komunikasi. Penggunaan bahasa dan budaya yang mudah dicerna akan memengaruhi mutu hubungan sosial yang lebih baik. Hubungan sosial yang baik inilah yang akan mendorong seseorang melakukan tindakan sesuai dengan muatan pesan yang disampaikan[13]. Seorang juru dakwah yang tidak sanggup membina kesataraan hubungan, baik karena adanya kesenjangan bahasa maupun cara berfikir, akan mendapat hambatan dalam mengubah pesan menjadi tindakan. Pada akhirnya, dakwah tidak lebih dari sekedar proses transmisi informasi yang berlangsung tanpa makan apa-apa.

D. Bahasa, Budaya, dan Komunikasi
Bahasa selalu berkaitan dengan budaya dan komunitas para penggunanya. Bahasa dan budaya adalah dua wujud yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa menjadi salah satu alat ekspresi budaya bagi penggunanya, sementara budaya merupakan muatan nilai yang menjadi kekuatan bahasa dalam memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Perhimpitan kedua wujud tersebut, salah satunya tampak dalam aktivitas komunikasi, bahasa diakui sebagai alat komunikasi yang paling efektif. Pada lain sisi, komunikasi merupakan saluran pembentukan kebudayaan. Bahasa, budaya dan komunikasi merupakan kesatuan yang saling memengaruhi dan saling melengkapi[14].
Haviland 1988, mendefinikan kebudayaan sebagai “seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilakukan akan melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya sendiri dipandang layak dan dapat diterima”. Karena itu, budaya senantiasa berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, memercayai dan mgnusahakan apa yang patut menurut budayanya[15].
Setiap tindakaan sosial yang diperankannya, termasuk praktik-praktik komunikasi, muncul berdasarkan pola-pola budaya. Dengan kata lain, kebudayaan itu sendiri bukan perilaku yang kelihatan, melainkan lebih merupakan nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan oleh manusia untuk memberikan tafsiran-tafsiran terhadap pengalamannya yang pada akhirnya menimbulkan perilaku. Jadi, kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku, sebagai sebutan persamaan yang  menyebabkan perbuatan setiap individu daspat dipahami oleh kelompoknya.
Secara implisit, pemahaman tentang kebudayaan tersebut mengisyaratkan adanya ketelibatan komunikasi. Sebagaimana disebutkan di atas komunikasi beruhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Oleh karena itu, para antropolog memendang perlu memahami fungsi bahasa dalam setiap kebudayaan terutama sebagai fasilitas untuk dapat mengomunikasikan pengalaman, keprihatinan, dah kepercayaan dari waktu ke waktu, serta meneruskannya kepada generasi berikutnya.
Karena itu, komunikasi pada gilirannya turut berperan dalam menentukan, memelihara, dah mengembangkan atau mewariskan budaya. Proses transmisi kebiasaan-kebiasaan, misalnya, tentu mensyaratkan komunikasi sebab lewat komunikasi para pelakunya dapat saling bertukar informasi, pengalaman, dan bahkan perasaannya, termasuk cara-cara dalam menyelesaikan masalah yang pernah ditemukan sebelumnya. Komunikasi akan menemukan jalan yang paling mungkin dilalui, lalu diturunkan dari generasi ke generasi. Komunikasi juga yang akan memelihara mata rantai perjalanan tradisi suatu masyarakat.
Jadi, peran penting komunikasi dalam proses kebudayaan ini salah satunya ditunjukkan oleh adanya fungsi transmisi dalam aktivitas komunikasi. Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua sisi yang saling memengaruhi. Komunikasi seseorang atau sekelompok orang akan selalu dipengaruhi oleh kebudayaan yang melingkupi kehidupannya; dan kebudayaan suatu masyarakat terbentuk melalui proses komunikasi yang berlangsung dalam setting sosial tertentu dan dalam waktu yang cukup lama.
Bahasa sendiri dalam konteks seperti ini merupakan symbol verbal yang berfungsi merepresentasikan nilai-nilai kebudayaan yang dianut para penggunanya. Karena itu, selain merupakan media komunikasi yang melekat pada kehidupan seseorang, bahasa juga menjadi ciri suatu kebudayaan.
Dalam proses kehidupan yang diwarnai dengan pertukaran nilai antar masyarakat yang berbeda budaya saat ini, komunikasi akan tetap memainkan peran sosialnya secara fungsional. Lahirnya gagasan, konsep, dan ikhtiar mengendalikan praktik komunikasi antar budaya pada dasarnya diilhami oleh kenyataan semakin intensifnya interaksi antara individu dan kelompok yang memiliki latar budaya yang berbeda.
Denga fasilitas media massa, batas-batas antar individu, kelompok, bahkan wilayah negara menjadi kabur. Proses ini berlangsung dalam ruang kebudayaan yang satu sama lain saling memengaruhi, juga dalam aktivitas komunikasi dengan melibatkan simbol-simbol verbal ataupun non-verbal, karakter individu ataupun kelompok, serta lingkungan sosial, yang memungkinkan terjadinya interaksi dan komunikasi.

E.     Kesimpulan
Jadi, dengan mempertimbangkan aspek-aspek budaya komunikasi yang berlaku pada suatu masyarakat, seorang juru dakwah akan memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Pesan-pesan kebaikan, seperti pentingnya beramal saleh, akan mudah diterima dan sekaligus menjadi kebutuhan masyarakat sasarannya selama ia berada pada ruang psikologis dan budaya yang dianutnya.
Dalam ruang psikologis inilah, seorang juru dakwah dapat menanamkan nilai-nilai ajaran dengan mengalirkan pesan-pesan sesuai kapasitas para jamaahnya. Pesan-pesan itu akan diramu sesuai selera budaya masyarakat. Pesan-pesan itu akan mengalir dalam arus minat serta motif-motif intristik dan ekstristik orang-orang yang menjadi sasaran dakwah sehingga perubahan yang menjadi target dakwah pun dapat dipenuhi secara persuasif.

REFERENSI
A.W Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 1986).
Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984).
Muhtadi, Prof. Dr. Asep Saeful, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012).
Mutmainah dkk, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005).
Nuh, Dr. Sayyid Muhammad, Strategi Dakwah dan Pendidikan Umat, (Yogyakarta: Himam Prisme Medi, 2004).
Omar, M.A, Prof. Toha Jahja, Ilmu Dakwah, (Djakarta: Widjaya Djakarta, 1971).



[1] Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Hal. 13.
[2] Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Strategi Dakwah dan Pendidikan Umat, (Yogyakarta: Himam Prisme Medi, 2004), Hal. 121.
[3] Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984), Hal. 37.
[4] Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Strategi Dakwah dan Pendidikan Umat. . . , Hal. 145.
[5] Ibid, Hal. 145.
[6] Hamka, Prinsip dan Kebijakan Dakwah Islam. . . , Hal. 101.
[7] Prof. Toha Jahja Omar, M.A, Ilmu Dakwah, (Djakarta: Widjaya Djakarta, 1971), Hal. 109.
[8] Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Strategi Dakwah dan Pendidikan Umat. . . , Hal. 108.
[9] Ibid, Hal. 128.
[10] Mutmainah dkk, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005), Hal. 47.
[11] Ibid, Hal. 48.
[12] Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi. . . , Hal. 46.
[13] A.W Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), Hal. 50.
[14] Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi. . . , Hal. 47.
[15] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template