Efektivitas
Dakwah: Perspektif Psikologi Komunikasi
Oleh: Abdul Mun’im, (32.2.2.9874)
Mahasiswa
Program Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Institut Studi Islam Darussalam Gontor, Ponorogo
A. Pendahuluan
Komunikasi dan dakwah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan
atau satu sama lain saling terkait. Keduanya merupakan
disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namun dalam praktik serta aplikasinya selalu terpadu antara satu dengan lainnya
serta saling menunjang[1].
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak pesan dakwah tidak sampai
kepada sasaran, karena dai (komunikator) tidak mampu berkomunikasi secera
efektif. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan menuangkan pesannya dalam
bahasa yang baik dan benar. Seolah-olah dakwah yang disajikan kering, gersang
dan hambar. Bahasanya tidak bergaya, mad’u (komunikan) tidak memahami
apa yang disampaikannya, minat dan interest mad’u hilang dan komunikasi
tidak terjalin.
Komunikasi efektif mempunyai nuansa dan varian sesuai dengan kepentingan
dan tujuannya. Walaupun pada prinsipnya tujuannya sama, yakni bagaiman pesan
komunikasi yang disampaikan dapat diserap, dihayati, dan direspon oleh
komunikan secara positif[2].
Karena itu, komunikasi sebagai sarana vital sangat menunjang bagi
terlaksananya dakwah. Sehingga pemahaman dai tentang ilmu tersebut akan
memberikan arti penting bagi suksesnya dakwah. Yakni terlaksananya ajaran Islam dengan tegaknya amar makruf dan nahi
munkar.
B. Prinsip Komunikasi dalam Dakwah
F. Richard Webstern (1991) mengartikan komunikasi adalah suatu transmisi atau pertukaran informasi, pesan atau data melalui
berbagai media, seperti berbicara (komunikasi verbal), tulisan (komunikasi
tertulis), telepon, telegrap, radio atau saluran-saluran lain dalam sebuah
kelompok atau diarahkan pada individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu[3].
Dalam konteks komunikasi, kemampuan untuk dapat menguraikan,
meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan perilaku merupakan sumbangan
yang sangat berharga bagi tercapainya tujuan komunikasi yaitu efektif dan
efisien (berdaya guna). Oleh karena itu, komunikasi dikatakan efektif apabila
dalam suatu kegiatan berkomunikasi (pesan) yang disampaikan dapat diterima
sebagaimana yang dimaksudkan oleh si pengirim pesan (komunikator) tersebut.
Komunikasi yang efektif bukan hanya sekedar menyusun kata atau mengeluarkan bunyi yang
berupa kata-kata, tetapi menyankut bagaimana agar orang lain tertarik
perhatiannya, mau mendengar, mengerti dan melakukan sesuai dengan pesan yang
disampaikan[4].
Sebagaimana halnya dakwah bertujuan untuk menyampaikan (tabligh) materi kepada mad’u (komunikan), tidak lain dimaksudkan
untuk mengajak dan mengundang mereka kepada nilai-nilai dan akhlak mulia.
Karena itu dakwah merupakan salah satu bentuk komunikasi interpersonal, artinya
dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok dan atau massa. Sedangkan isi dakwah yang disampaikan
bertujuan untuk mempengaruhi pendapat dan pola pikir yang didakwahi (umat)
sehingga terjadi perubahan persepsi dan selanjutnya tingkah laku umat menjadi
kebiasaan melakat.
Persoalan komunikasi yang menjadi perhatian dalam hubungan antar manusia
terutama dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah adalah bagaimana komunikasi
yang dilakukan dapat berlangsung secara efektif (berguna) terhadap mad’u[5]. Hal itu dapat berarti bahwa dalam urusan bisnis, mencari teman,
mempengaruhi orang lain agar mau melakukan apa kita inginkan, menetapkan
keputusan, jatuh cinta dan berbagai hubungan pribadi dan professional senantisa
berhubungan dengan komunikasi.
Dalam penjabarannya, prinsip-prinsip komunikasi dalam dakwah itu,
dapat dikemukakan sebagai berikut[6]:
a) Menumbuhkan Motivasi Masyarakat
Dalam menyampaikan dakwah secara efektif hendaknya minat mad’u (komunikan) dibangkitkan. Bila mad’u tidak berminat, maka apa yang kita sampaikan hampir tidak ada
gunanya. Cara-cara yang dapat ditempuh di
antaranya sebagai berikut:
Pertama; Menggunakan dorongan kebutuhan manusia, dengan cara mengutarakan
pentingnya atau manfaatnya terhadap apa yang kita sampaikan, terutama bagi masyarakat. Kedua; Dapat juga kita menyinggung harga diri masyarakat dan menokohkannya.
Ketiga; Menggunakan dorongan ingin tahu. Teknik ini berdasarkan bahwa pada dasarnya setiap manusia yang
sehat selalu mampunyai dorongan ingin tahu baik mengenai dirinya maupun hal-hal
yang berada di luar dirinya.
Motivasi (pendorong) merupakan penggerak utama di dalam suatu
pekerajaan (aktivitas). Karena itu besar kacilnya gairah untuk mengerjakan
suatu pekerjaan tergantung kepada besar kecilnya motivasi terhadap pekerjaan
tersebut. Sudah jelas aktivitas dakwah yang dikerjakan dengan gairah yang
besar, besar pula kemungkinan akan berhasilnya.
b) Menarik Perhatian Masyarakat
Penyampaian dakwah akan berhasil bila dapat menarik perhatian mad’u.
Hal ini jelas, sebab tidak mungkin seorang dapat menangkap apa yang disampaikan
bila perhatiannya tertuju kepada masalah-masalah lain. Perhatian artinya
pemusatan pikiran pada suatu masalah atau objek. Agar mad’u mau
memperhatikan, adapun hal-hal yang dapat menarik perhatian mad’u adalah
sebagai berikut: ha-hal yang aneh artinya jarang terjadi, hal-hal yang lucu,
hal-hal yang meyolok (dominan), hal-hal yang sesuai dengan kebutuhan dan hal-
hal yang sekonyong-konyong terjadi[7].
c) Mengutamakan Kegunaan Materi Dakwah
Jelasnya bahwa pokok persoalan bagi seorang dai adalah bagaimana
menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi golongan dalam suatu
keadaan dan suasana tertentu. Untuk itu ia harus menguasai isi dakwah yang
hendak disampaikan, serta intisari dan maksud-maksud yang terkandung di
dalamnya, harus dapat melalui apa corak orang atau golongan yang dihadapi,
harus bisa merasakan keadaan dan suasana, ruang dan waktu, dimana ia
menyampaikan dakwah, harus bisa pula memilih cara dan kata yang tepat, setelah
memahamkan semua itu.
Hal-hal yang dirasa ada gunya akan tetap tinggal dalam ingatan
seseorang. Karena itu mad’u akan selalu menyaring mana uraian-uraian yang dianggap pada gunanya. Uraian yang dianggap ada gunanya akan diusahakan,
diingat-ingat atau diserapkan, sedangkan uraian yang tidak ada gunanya atau
kurang bermanfaat akan segera hilang dari ingatan.
d) Menyampaikan Dengan Gaya Bahasa yang Indah dan Lembut
Penyampaian dakwah akan mudah ditangkap oleh mad’u bila diuraikan sedemikian rupa. Materi-materi dakwah yang disajikan
oleh dai melalui Al- Qur’an dibuktikan manusia melalui penalaran akalnya yang
dianjurkan Al-Qur’an untuk dilakukan manusia pada saat ia mengemukakan materi
dakwah tersebut[8].
e) Menjelaskan Pengertian Materi Dakwah
Pada dasarnya materi dakwah menurut Asmuni Syukir (1983:60) tergantung pada tujuan dakwah yang hendak dicapai.
Namun secara global dapat dikatakan bahwa materi dakwah
dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu: keimanan (aqidah), keislaman (syariah) dan budi pekerti (al-akhlaq al-karimah).
Hal-hal yang dimengerti mudah dihafalkan atau mudah tertanam dalam
pikiran seseorang. Karena itu, materi dakwah hendaknya disampaiakan secara
singkat, jelas dan padat. Hal-hal yang berkenaan dengan itu diantarnya adalah :
tema-tema yang disampaikan harus disajikan dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Gagasan yang sama diulang-ulang
berkali-kakli dengan cara penyajian yang mungkin beraneka ragam dan penggunaan
emosi secara intensif.
f) Mengulang-Ulangi Kalimat yang Dianggap Perlu
Penekanan itu dapat dilakukan dengan mengulang-ulangi maksud
kalimat yang hendak ditekankan. Yang diulang adalah maksud kalimat, memakai
beberapa macam bentuk kalimat atau perkataan dengan maksud yang sama. Tidak
boleh mengulangi kalimat kata demi kata, karena yang demikian itu akan membosankan dan pengulangan itupun
hendaknya dilakukan bila dianggap perlu[9].
Demikian uraian komunikasi efektif dalam dakwah, dan bilamana
dakwah dilaksanakan dengan cara bijaksana dan baik menurut petunjuk Al Qur’an
dan hadis Rasulullah SAW dengan prinsip-prinsip komunikasi, maka akan tercapai
apa yang kita harapkan, yakni sampainya pesan dakwah kepada mad’u (komunikan)
yang berdampak pada tertanamnya nilai dan terlaksananya akhlak mulia.
C. Hubungan Komunikasi dan Dakwah
Sebagian orang, kalangan awam ataupun profesional, yang menganggap
dakwah sebagai bagian dari bentuk aktivitas komunikasi, akan memandang
efektivitas proses dakwah dalam bingkai efektivitas komunikasi. Salah satu ciri
penting komunikasi efektif adalah adanya efek siginifikan pada diri komunikan.
Dalam perspektif perubahan individu ataupun kelompok, efek itu bisa terjadi
pada wilayah kognitif, afektif, maupun psikomotorik[10].
Wilayah-wilayah perubahan itu pula yang dapat dijadikan ukuran tinggi rendahnya
efektivitas dalam proses dakwah.
Pendekatan psikologi komunikasi melihat aktivitas dakwah sebagai proses
membangkitkan motivasi untuk melakukan suatu tindakan yang dinilai benar
menurut ajaran. Dalam kerangka komunikasi, motivasi sendiri merupakan kekuatan
internal yang akan menentukan efektif tidaknya suatu proses. Karena itu, jika
aktivitas dakwah menargetkan terjadinya perubahan, baik individu maupun
kelompok, penggunaan berbagai saluran, termasuk pemilihan bahasa dan logika
yang digunakan, pemanfaatan media cetak maupun elektronik, serta beragam media sosial
lainnya, dimaksudkan untuk mempermudah proses perubahan tersebut. Proses dakwah
sendiri pada dasarnya merupakan proses komunikasi sosial yang dilakukan untuk
melakukan perubahan[11].
Menurut Tubbs dan Moss 1974, secara psikologis, efektivitas komunikasi
paling tidak ditandai oleh timbulnya lima hal pada diri komunikan: pengertian,
kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan.
Komunikasi dilakukan bukan hanya dalam menyampaikan suatu pesan.
Komunikasi juga sering dilakukan justru untuk menumbuhkan gairah dan kesenangan,
sekaligus mendorong untuk melakukan suatu tindakan[12].
Banyak pertanyaan dilontarkan seorang dai, tapi bukan untuk memperoloh jawaban
atau informasi dari para jamaah. Komunikasi itu dilakukan hanya untuk
menumbugkan gairah dan kesenangan para jamaah. Sebab melalui komunikasi inilah
akan timbul hubungan dai dan mad’u yang semakin hangat, komunikatif, dan
menyenangkan.
Kesenangan dalam komunikasi akan menjadi jembatan persuasi. Salah satu
tujuan komunikasi persuasif adalah memengaruhi sikap. Seorang khatib selalu
memengaruhi sikap jamaah dengan mengemukakan hal-hal yang menyenangakan.
Seorang guru juga memengaruhi sikan murid-muridnya dengan menjanajikan reward
yang menggairahkan. Pertanyaanya kemudian, dapatkah upaya memengaruhi ini
dilakukan melalui komunikasi yang tidak mampu menyentuh rasa bahasa
pendengarnya? Mungkin, di sinilah artipenting ungkapan Rasulullah SAW “agar
menggunakan bahasa kaumnya”.
Selain itu komunikasi dilakukan untuk membangun hubungan sosial yang
baik di antara orang-orang yang sedang terlibat dalam aktivitas komunikasi.
Penggunaan bahasa dan budaya yang mudah dicerna akan memengaruhi mutu hubungan sosial
yang lebih baik. Hubungan sosial yang baik inilah yang akan mendorong seseorang
melakukan tindakan sesuai dengan muatan pesan yang disampaikan[13].
Seorang juru dakwah yang tidak sanggup membina kesataraan hubungan, baik karena
adanya kesenjangan bahasa maupun cara berfikir, akan mendapat hambatan dalam
mengubah pesan menjadi tindakan. Pada akhirnya, dakwah tidak lebih dari sekedar
proses transmisi informasi yang berlangsung tanpa makan apa-apa.
D. Bahasa, Budaya, dan Komunikasi
Bahasa selalu berkaitan dengan budaya dan komunitas para penggunanya.
Bahasa dan budaya adalah dua wujud yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa menjadi
salah satu alat ekspresi budaya bagi penggunanya, sementara budaya merupakan
muatan nilai yang menjadi kekuatan bahasa dalam memengaruhi cara berpikir,
bersikap, dan bertindak. Perhimpitan kedua wujud tersebut, salah satunya tampak
dalam aktivitas komunikasi, bahasa diakui sebagai alat komunikasi yang paling efektif.
Pada lain sisi, komunikasi merupakan saluran pembentukan kebudayaan. Bahasa,
budaya dan komunikasi merupakan kesatuan yang saling memengaruhi dan saling
melengkapi[14].
Haviland 1988, mendefinikan kebudayaan sebagai “seperangkat peraturan
atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika
dilakukan akan melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya sendiri dipandang
layak dan dapat diterima”. Karena itu, budaya senantiasa berkenaan dengan cara
manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, memercayai dan mgnusahakan apa
yang patut menurut budayanya[15].
Setiap tindakaan sosial yang diperankannya, termasuk praktik-praktik
komunikasi, muncul berdasarkan pola-pola budaya. Dengan kata lain, kebudayaan
itu sendiri bukan perilaku yang kelihatan, melainkan lebih merupakan
nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan oleh manusia untuk memberikan
tafsiran-tafsiran terhadap pengalamannya yang pada akhirnya menimbulkan perilaku.
Jadi, kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku, sebagai
sebutan persamaan yang menyebabkan
perbuatan setiap individu daspat dipahami oleh kelompoknya.
Secara implisit, pemahaman tentang kebudayaan tersebut mengisyaratkan
adanya ketelibatan komunikasi. Sebagaimana disebutkan di atas komunikasi
beruhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan
berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Oleh karena itu, para antropolog
memendang perlu memahami fungsi bahasa dalam setiap kebudayaan terutama sebagai
fasilitas untuk dapat mengomunikasikan pengalaman, keprihatinan, dah
kepercayaan dari waktu ke waktu, serta meneruskannya kepada generasi
berikutnya.
Karena itu, komunikasi pada gilirannya turut berperan dalam menentukan,
memelihara, dah mengembangkan atau mewariskan budaya. Proses transmisi
kebiasaan-kebiasaan, misalnya, tentu mensyaratkan komunikasi sebab lewat
komunikasi para pelakunya dapat saling bertukar informasi, pengalaman, dan
bahkan perasaannya, termasuk cara-cara dalam menyelesaikan masalah yang pernah
ditemukan sebelumnya. Komunikasi akan menemukan jalan yang paling mungkin
dilalui, lalu diturunkan dari generasi ke generasi. Komunikasi juga yang akan
memelihara mata rantai perjalanan tradisi suatu masyarakat.
Jadi, peran penting komunikasi dalam proses kebudayaan ini salah satunya
ditunjukkan oleh adanya fungsi transmisi dalam aktivitas komunikasi. Komunikasi
dan kebudayaan merupakan dua sisi yang saling memengaruhi. Komunikasi seseorang
atau sekelompok orang akan selalu dipengaruhi oleh kebudayaan yang melingkupi
kehidupannya; dan kebudayaan suatu masyarakat terbentuk melalui proses
komunikasi yang berlangsung dalam setting sosial tertentu dan dalam waktu yang
cukup lama.
Bahasa sendiri dalam konteks seperti ini merupakan symbol verbal yang
berfungsi merepresentasikan nilai-nilai kebudayaan yang dianut para
penggunanya. Karena itu, selain merupakan media komunikasi yang melekat pada
kehidupan seseorang, bahasa juga menjadi ciri suatu kebudayaan.
Dalam proses kehidupan yang diwarnai dengan pertukaran nilai antar
masyarakat yang berbeda budaya saat ini, komunikasi akan tetap memainkan peran
sosialnya secara fungsional. Lahirnya gagasan, konsep, dan ikhtiar
mengendalikan praktik komunikasi antar budaya pada dasarnya diilhami oleh
kenyataan semakin intensifnya interaksi antara individu dan kelompok yang
memiliki latar budaya yang berbeda.
Denga fasilitas media massa, batas-batas antar individu, kelompok,
bahkan wilayah negara menjadi kabur. Proses ini berlangsung dalam ruang
kebudayaan yang satu sama lain saling memengaruhi, juga dalam aktivitas
komunikasi dengan melibatkan simbol-simbol verbal ataupun non-verbal, karakter
individu ataupun kelompok, serta lingkungan sosial, yang memungkinkan
terjadinya interaksi dan komunikasi.
E. Kesimpulan
Jadi, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek budaya komunikasi yang berlaku pada suatu
masyarakat, seorang juru dakwah akan memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Pesan-pesan kebaikan, seperti pentingnya beramal
saleh, akan mudah diterima dan sekaligus menjadi kebutuhan masyarakat
sasarannya selama ia berada pada ruang psikologis dan budaya yang dianutnya.
Dalam ruang psikologis inilah, seorang juru dakwah dapat menanamkan
nilai-nilai ajaran dengan mengalirkan pesan-pesan sesuai kapasitas para
jamaahnya. Pesan-pesan itu akan diramu sesuai selera budaya masyarakat.
Pesan-pesan itu akan mengalir dalam arus minat serta motif-motif intristik dan
ekstristik orang-orang yang menjadi sasaran dakwah sehingga perubahan yang
menjadi target dakwah pun dapat dipenuhi secara persuasif.
REFERENSI
A.W
Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 1986).
Hamka,
Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984).
Muhtadi,
Prof. Dr. Asep Saeful, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012).
Mutmainah
dkk, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005).
Nuh,
Dr. Sayyid Muhammad, Strategi Dakwah dan Pendidikan Umat, (Yogyakarta: Himam
Prisme Medi, 2004).
Omar,
M.A, Prof. Toha Jahja, Ilmu Dakwah, (Djakarta: Widjaya Djakarta, 1971).
[1] Prof. Dr.
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Hal. 13.
[2] Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Strategi Dakwah dan Pendidikan Umat,
(Yogyakarta: Himam Prisme Medi, 2004), Hal. 121.
[12] Prof. Dr.
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi. .
. , Hal. 46.
[14] Prof. Dr.
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah; Teori, Pendekatan dan Aplikasi. .
. , Hal. 47.
0 komentar:
Posting Komentar